Minggu, 06 Januari 2019

PANGGIL AKU: PHENG HWA



KAJIAN CERITA PENDEK :


PANGGIL AKU: PHENG HWA

Karya : Veven Sp Wardhana

Oleh
AGUS HERYANA


Teks:

SEJARAH telah menyeretku menjadi bunglon: cepat berganti nama begitu berpindah tempat hinggap. Ada saatnya kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, ada masanya kusebutkan namaku sebagai Effendi Wardhana, sebuah nama sebagaimana tertulis di KTP, atau menurut istilah kami sering disebut sebagai nama pemberian negara.
Karena aku dan keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara komunitas waniktio[1] tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.
Lama-lama, bukan hanya pada kantor resmi itu harus kusebutkan nama KTP itu. Pada kawan sekolah lanjutan di kota kabupaten, pada rekan kuliah di Yogya, pada sesama karyawan di perusahaan tempatku bekerja di Jakarta pun nama yang sama dengan yang di KTP itulah yang kuperkenalkan. Lalu, aka pun kemudian jadi terbiasa dengan nama Effendi Wardhana, sementara kalau ada yang memanggilku Pheng Hwa, bahkan dulu terkadang singkek [2] kuping jadi mendadak gatal.
Di kemudian hari, barangkali juga karena aku sudah kian jarang kontak dengan keluarga karena berbagai alasan, kesadaranku bahwa aku adalah waniktio menjadi semakin mengabur. Justru istrikulah, asal Manado, yang kerap disangka kawan-kawan di Jakarta sebagai Tionghoa.
Lalu, ketika perusahaan tempatku bekerja dianggap bermasalah dan kemudian susunan manajerialnya direstrukturisasi, antara lain dengan memasukkan beberapa nama yang diusulkan pihak pemerintah, tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan itu, aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih mengikuti anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana istriku telah terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama di Paris, Perancis.
Di Paris, dalam sebuah pertemuan di resto milik orang Indonesia yang sudah tinggal lama di sana [3] aku ketemu bekas kawan sekolah.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.
Sejak itu, kawan-kawan di Paris mulai mernanggilku Ping ,
"Tak soal, Ping: di negeri ini, tampang kayak kamu justru lebih dihargai dibandingkan aku," kata Gus beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai dan masing-masing hendak meninggalkan resto.
Ucapan Gus tidak salah. Dalam kereta bawah tanah, kalau misalnya ada penumpang kereta yang menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka adalah: " Vous etes Vietnamese? [4]
"Karena mereka interes pada orang Vietnam? Kenapa,para Perancis itu masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-ble lainnya, yang sering salah kira terhadap kita sebagai orang Filipina?" sergahku. "Apakah dalam zaman globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih juga gemblung menganggap Bali itu ada di luar Indonesia, seperti yang digambarkan banyak wartawan Indonesia dari zaman ke zaman, dari orde ke orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon, suara Gus terasa sangat keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci kalimatnya.
Gus benar, masih ada yang tersisa sebagai rahasia yang tidak kupahami. Juga ketika aku dan istriku belanja di Tang Frere [5] kawasan Porte de Choisy, semua Cina yang kutemukan di wilayah Paris distrik 13 ini tak satu pun yang bicara dalam bahasa Mandarin. Bahkan sesama Cina pun mereka ber-parlez Francaise.[6]
 "Ni shi zhong Guoren, wei shen me bu hui shuo Huayu?"[7]  tanyaku heran.
Mereka hanya angkat bahu dan alis, sambil menatap tajam padaku lewat ekspresi yang tak kalah penuh rasa heran.
"Mais, Vous etes Chinois, n’est pas? Pourqoi Vous ne parlez pas, Chinois?" kuulangi lagi pertanyaanku dalam Perancis.
"Eh, donc?" [8] balas mereka.
Panggil Aku: Wmg Hwa     
"Eh, donc? Na shi wei shen me ne?" [9]  sergahku membalik pertanyaan mereka, dalam bahasa campur-baur.
"Asalmu dari mana sih? Kamu pakai akte kelahiran siapa?" tanya salah seorang dari mereka kemudian.
Pakai akte kelahiran siapa?
Istrikulah yang kermidiLn menerangkan. Istriku bilang, dia banyak mendapatkan informasi dari Madame Goldmann [10]. Katanya, sensus penduduk di pecinan tak pernah meninggalkan catatan yang menyatakan adanya jumlah penduduk yang berkurang, kendati ada warga yang meninggal dunia. Dulu, pernah sebuah stasiun televisi menayangkan investigasi mereka perihal misteri jumlah penduduk itu. Toh, siaran yang diniatkan sebagai serial panjang itu dihentikan di tengah jalan, tanpa ada sedikit pun penjelasan.
"Akte milik yang mati itu namanya dipakai imigran dari Cina yang eksodus karena revolusi kebudayaan," kata istriku. Diam-diam aku memuji kelincahan istriku dalam mendapat dan mengumpulkan informasi.
Salah satu kelihaian istriku lainnya, dengan cepat pula dia mampu membedakan taste antara riz blanc Vietnam dari riz blanc [11] Thailand, yang berasnya dua-duanya bisa dibeli di pecinan atau di pasar swalayan dekat gereja Orly. Tapi, ketajaman lidah kuliner itu bukan diperolehnya dari Nyonya Goldmann. Entah dari siapa. Yang jelas, sesekali dia menyebut-nyebut seorang kawan studinya yang tinggal di sebuah apartemen. di Orly. Kawannya yang juga asal Indonesia ini, menurut penilaian istriku, agak enggan kumpul-kumpul dengan sesama warga Indonesia lainnya.
"Dia ipar ekonom Indonesia yang kerja untuk konglomerat," komentar istriku.
***
PHENG Hwa, memang namaku. Namun, saat aku bertemu dengan ipar ekonom yang disebut-sebut istriku itu, yang kusebutkan justru nama pemberian negara itu. Waktu itu, ipar itusedang mengadakan nama acara syukuran atas kelahiran anak pertamanya, yang sudah sangat lama mereka dambakan kelahirannya. Dalam acara itu, tetangga kiri kanan di apartemen di selatan Paris itu juga diundang. Jadinya, ada juga satu-dua orang Perancis, Aljazair, Maroko, dan Italia.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari Malaya?" tanya seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang Anda maksud adalah Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran.
Tamu lain, orang Aljazair, kemudian bicara panjang lebar mengenai revolusi Iran. Sementara warga asal Maroko kemudian menghadiahi kami sebotol sambal bikinannya. Dari situ aku dan  istriku kemudian bisa membedakan rasa antara sambal Maroko  dibandingkan sambal Aljazair.
***
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak.
Aku tak lagi menggubris aku akan dipanggil dengan nama apa, toh, aku sudah tidak lagi merasa ngumpet —entah dari apa— jika harus menyebutkan nama pemberian negara itu. Juga aku tak perlu merasa khawatir --entah karena apa— jika kemudian ada yang memanggilku pakai nama waniktio itu.
Aku merasa baru terlahir kembali.
Dengan perasaan plong macam itulah aku kini pulang kembali ke Tanah Air, ke Jakarta, menyusul istriku yang sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya.
Saat mendarat di Cengkareng, hari sudah hampir pagi.
Menjelang melewati meja pemeriksaan paspor, aku mencium gelagat aneh. Entah apa. Petugas imigrasi yang memeriksa paspor pun perlu menatapku dengan tajam, sambil bercampur rasa penasaran. Entah pula karena apa. Sambil menunggu bagasi, aku mencari telepon umum dan menelepon ke rumah, mengabarkan pada istriku bahwa aku sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Di seberang tak ada yang mengangkat telepon. Kuulang lagi menelepon rumah dengan nomor satunya. Tetap saja tak ada yang mengangkat di seberang sana.
Sabuk bagasi terus berputar dan satu persatu tas mulai diturunkan. Kucoba kuulang menelepon. Hampa.
Setelah kuambil beberapa tasku dan kutumpuk di atas troli, aku beranjak menuju jalan keluar.
"Ada keluarga yang menjemput?" tanya petugas di pintu keluar sambil mengambil tiket bagasiku. Aku tak sempat menjawabnya karena mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu. Sama sekali aku tak menemukan istriku atau keluarga yang lain. Yang kulihat adalah banyaknya orang berdesak-desak tidur di sembarang tempat.Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau Gambir?
Kucoba lagi menelepon ke rumah. Yang terdengar tetap nada sambung, tapi tetap juga di seberang sana tak ada yang mengangkatnva.
Berulang-idang kucoba lagi menelepon lewat telepon umum di sebelahnya, di sebelahnya lagi, di sebelahnya lagi. Tetap tak ada yang mengangkat.
Tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya. Tak ada mobil lalu-lalang di jalanan seberang. Aku makin merasakan bahwa aku sedang tidak berada di wilayah bandara.
Ternyata, bukan hanya aku yang gagal mengontak telepon ke rumah. Para penelepon lainnya juga mengeluhkan hal yang sama: jika tidak ada yang mengangkat, justru telepon di seberang sedang on-line.
Diam-diam aku teringat pada film The Philadelphia Experiment[12]  yang pernah kutonton entah berapa tahun lewat. Buru-buru kucari seorang petugas.
"Tahun berapa sekarang ini?" tanyaku pada seorang petugas. Tampaknya, pertanyaanku dianggap ganjil. Tahun berapa?
Pastilah petugas itu menganggap aku terguncang oleh jetlag yang sangat luar biasa.
"Sekarang tanggal 15 Mei," jawabnya menegas-negaskan, seolah sekalian meralat pertanyaanku.
"Ya, tapi tahun berapa?" sergahku. Dan bukan hanya petuga itu yang kini menunjukkan raut wajah penuh rasa heran. Orang-orang di sekeliling yang kebetulan mendengar pertanyaanku yang tampaknya cukup keras itu bahkan, menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting.
"Tahun berapa sekarang?" tanyaku pada orang di sampingku Raut muka yang kutanya itu mengkerut. Aku tafsirkan dia sedang bertanya mengenai diriku.
"Panggil saja nama saya: Pheng Hwa. Saya benar-benar tidal bertanya soal jam, hari, atau tanggal. Tapi, tahun! Tahun berapi sekarang?"*


* Porte de Choisy, September 1995; Utan Kayu, September 1998



ANALISIS


Pengantar

   Cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa berkisah tentang problematika warga keturunan Tionghoa (waniktio) di negri yang berbeda. Pertama di negri Indonesia, Jakarta dan kedua di negri Perancis, Paris. Perbedaan cara pandang yang disebabkan latar belakang perbedaan sosial budaya ternyata memberi dampak yang berbeda pula. Bagaimana sikap dan posisi seorang waniktio, yang diperankan oleh tokoh cerita Pheng Hwa, menghadapi semua itu. Inilah inti cerita yang ingin disampaikan pengarangnya,  Veven Sp Wardhana.
Cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa sebagai karya sastra sudah sewajarnya memiliki ciri-ciri kesastraannya diantaranya adalah sifat rekaan atau fiksionalitasnya. Di samping itu sebagai teks karya sastra, ia  dibangun di atas peristiwa-peristiwa yang membentuk sebuah keutuhan kisahan. Di dalamnya pula terbangun bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan, beratutan menjalin harmoni estetik dalam kerangka menyampaikan gagasan atau ide pengarang. Oleh karena itu, guna mengetahui kandungan cerpen yang dimaksud akan dianalisis struktur yang membangun ceritanya.

1. Alur
Sebuah kisahan rekaan dibangun berdasarkan urutan-urutan peristiwa yang disusun untuk sebuah keperluan. Susunan  urutan peristiwa ini –dalam perspektif struktur cerita - menjadi tulang punggung atau kerangka bangunan sebuah cerita. Kerangka cerita  biasanya disusun dalam bentuk kausalitas yang sering dikenal dengan sebutan alur. Alur cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa  tampaknya membentuk alur linear mengingat susunan peristiwa yang terjadi di dalamnya berurutan dan bertautan antara satu dengan yang lainnya. Tak tampak adanya loncatan cerita atau mengulang cerita (kisahan sorot balik). Alur disusun mengalir sambung menyambung hingga berhenti pada satu peristiwa yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca. 

     Kisah diawali dengan memperkenalkan tokoh cerita seorang warga keturunan Tionghoa bernama Pheng Hwa  atau Ping An. Sang tokoh karena sesuatu sebab ”dipaksa” untuk berganti nama menjadi Effendi Wardhana. Selanjutnya susunan alur linear cerpen yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut.

     Pheng Hwa  atau Ping An seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa yang harus berganti nama menjadi Effendi Wardhana;
     Nama Effendi Wardhana, sebagai pemberian negara, mempermudah berbagai urusan birokrasi;
Proses waktu membuat nama Effendi Wardhana lebih dikenal dari pada Pheng Hwa  atau Ping An. Nyaris tak lagi ia dikenali lagi sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa.

     Sebuah peristiwa memaksa Effendi Wardhana berhijrah ke negri Perancis, tepatnya kota Paris.
     Pertemuan dengan kawan lama bernama Gus  mengembalikan jati dirinya sebagai Pheng Hwa  atau Ping An;
     Masyarakat Paris lebih menghargai wajah Pheng Hwa  atau Ping An dari pada ”wajah” Effendi Wardhana;
     Masyarakat Paris lebih terbuka dan tidak mempermasalahkan asal-usul seseorang.
     Ping An merasa marah kepada bangsanya sendiri, Tionghoa, yang tidak mau memperlihatkan ketionghoaannya, bahkan cenderung bersikap eklusif, tertutup.
     Pertemuan di rumah ipar ekonom dengan berbagai bangsa menyadarkan dirinya bahwa nama menunjukkan identitas seseorang
     Ping  An atau Effendi Wardhana pulang ke Indonesia dengan perasaan ”plong” , tanpa beban psikologis.
     Di Jakarta terjadi kemelut yang mengguncangkan jiwanya. Tanggal 15 Mei terjadi peristiwa ”eksodus” orang Tionghoa.
     Di tengah keputusaan, kesia-siaan dan ketidakmengertian telah memunculkan jati diri sesungguhnya; tanpa sungkan lagi ia mengaku bahwa dirinya adalah orang Tionghoa;  ”Panggil saja nama saya :  Pheng Hwa 

Dalam lingkup pengaluran, peristiwa 1,2, dan 3 merupakan lingkup pemaparan (mukadimah) awal kisah. Munculnya peristiwa baru yakni adanya restrukturisasi di perusahaan tempat bekerjanya merangsang munculnya peristiwa baru., yaitu mencari beasiswa di Paris, Perancis.
tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan itu, aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih mengikuti anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana istriku telah terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama di Paris, Perancis.

Peristiwa 5, s.d. 9 merupakan kisahan yang berlangsung di Paris. Di sinilah tokoh cerita mengalami goncangan jiwa, krisis identitas. Pertemuan dengan kawan lama, Gus, mulai membangkitkan kenangan lamanya yang ia telah kubur dengan paksa.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.

Kegamangan tokoh terhadap identitasnya menjadi-jadi ketika ia dihadapkan pada komunitas bangsanya di Paris yang bersifat tertutup. Ia begitu terkejut menyaksikan warga Tionghoa di Paris tidak mau memperlihatkan jati diri sesungguhnya, bahkan menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Namun demikian, pertemuan di tempat ipar ekonom dengan berbagai suku bangsa telah menyadarkan bahwa sebuah nama ternyata mengandung sebuah identitas.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari Malaya?" tanya seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang Anda maksud adalah Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran.

Alur mulai menurun seolah-olah menuju penyelesaian dengan pengakuan tokoh yang merasa plong terhadap berbagai peristiwa yang menimpanya. Peristiwa 10 sebenarnya ancang-ancang kearah alur leraian yang mengagetkan. Peristiwa baru muncul di tengah-tengah kesadaran yang pada akhirnya harus memilih sebuah identitas. 
Secara keseluruhan kisah kita dapat memahami adanya tanda 3 bintang (***)  yang ditempatkan pada akhir kisah yang dianggap selesai. Artinya, secara ringkas cerpen ini terdiri atas 3 bagian cerita  , jika tanda bintang itu dianggap sebagai batas bagian cerita . Bagian pertama dimulai dari urutan peristiwa 1 hingga 8; bagian kedua adalah urutan peristiwa ke 9; dan bagian ketiga cerita adalah peristiwa ke 10 hingga 12.

2. Tokoh dan Penokohan
Ada 6 tokoh cerita yang tercatat pada cerpen ”Panggil Aku :  Pheng Hwa”, yaitu :  (1)  Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana, (2) isteri Pheng Hwa, (3) Gus kawan lamanya, (4) ipar ekonom, (5) petugas imigrasi, (6) warga keturunan Tionghoa.  Keenam tokoh cerita ini dibedakan atas, pertama,  tokoh utama (sentral), yaitu    Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana. Kedua, tokoh bawahan, yaitu  isteri Pheng Hwa, Gus kawan lamanya, dan ipar ekonom. Ketiga,  tokoh figuran (pembantu) adalah petugas imigrasi dan warga keturunan Tionghoa.

Tokoh utama menjadi sentral cerita yang memiliki karakter sebagai berikut: tokoh cerita bernama Pheng Hwa atau Ping An  seorang warga keturunan Tionghoa yang kemudian berganti nama Effendi Wardhana. Ia bekerja di perusahaan swasta di bidang broadcasting, penyiaran. Pheng Hwa sifatnya tidak mau berkonfrontasi atau menentang. Ia cenderung mengalah, menghindari masalah dan  tidak mau melibatkan diri pada berbagai urusan. Akibat semua itu, ia mudah melupakan identitas dirinya bahkan sedikit oportunis, tetapi juga ia memiliki kesadaran ”nasionalisme” yang tinggi. Ketidaksukaan dipanggil singkek dan kemengkalan kepada kaumnya di Paris serta kedongkolan kepada bule-bule merupakan cerminan nasionaismenya. 

Karakter tokoh bawahan yaitu  isteri Pheng Hwa, Gus kawan lamanya, dan ipar ekonom dapat dikemukakan sebagai berikut:
Isteri Pheng Hwa digambarkan sebagai wanita Menado yang memiliki wajah lebih Tionghoa dari pada Pheng Hwa. Selama perjalanan hidupnya ia tidak pernah menemui masalah dalam bersosialisasi-interaksi sosial. Padahal secara genetik ia menunjukkan wajah Tionghoa. Sifatnya digambarkan sebagai wanita yang beripikiran maju ke depan (futuris) yang menyarankan suaminya, Pheng Hwa untuk mencari beasiswa ke Paris. Ia pun bersifat supel, pandai bergaul, lincah memperoleh informasi serta cepat dan mudah beradaptasi.

Gus, kawan lama Pheng Hwa adalah seorang pribumi yang bersifat jujur. Pangilan Ping An sebagai nama panggilan untuk kawan yang sudah akrab diucapkan tanpa disertai penghinaan atau perasaan merendahkan. Apa adanya dan perhatian (interes) kepada orang lain.
Ipar ekonom digambarkan seorang yang tidak mau berkumpul dengan orang kebanyakan. Ia lebih menyenangi memencilkan diri; asik dengan dunianya sendiri. Kalaupun bergaul, ia lebih suka berhubungan dengan orang dekat dan orang-orang asing berkelas.

Tokoh figuran atau tokoh pembantu adalah petugas imigrasi dan warga keturunan Tionghoa. Petugas imigrasi digambarkan sebagai petugas yang selalu curiga kepada orang keturunan; sedangkan tokoh figuran warga keturunan Tionghoa digambarkan sebagai kelompok minoritas yang tidak mau membuka diri kepada bangsa lain.


3. Tema
Tema cerpen dapat disimpulkan pada pengelompokan isotopi-isotopi berikut.

3.1 Isotop Manusia


kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, namaku sebagai Effendi Wardhana, KTP, kami, nama pemberian negara, aku, keluargaku, komunitas waniktio, orang, Pheng Hwa, atau Ping An, kantor polsek, instansi pemerintah, kawan sekolah, rekan kuliah, sesama karyawan, Effendi Wardhana, singkek, istrikulah, Tionghoa., pihak pemerintah, kebijakan, beasiswa, broadcasting, orang Indonesia, pertemuan, Gus, nama kawanku, acara kumpul-kumpul, memanggilku, ucapan, penumpang, menyapaku, pertanyaan, mereka, Vietnamese, orang Vietnam, bule-bule, orang Filipina, wartawan, sergahku, ingin tahu., terbahak, belanja, semua Cina, bicara, bahasa Mandarin, tanyaku, angkat bahu dan alis, menatap tajam, bahasa campur-baur, akte kelahiran, menerangkan, informasi, Madame Goldman, katanya, sensus penduduk, catatan, warga, meninggal dunia, menayangkan, investigasi, mati, imigran, eksodus, revolusi kebudayaan, penjelasan, memuji, mengumpulkan, ketajaman lidah kuliner, menyebut-nyebut, ipar ekonom Indonesia, konglomerat, komentar, bertemu, acara syukuran, kelahiran anak, tetangga, diundang, anda, Muslim, Malaya, seorang, saya, kesabaran, tamu , bicara, revolusi Iran, menghadiahi, membedakan rasa, orang Aljazair, warga asal Maroko, menyelinap, menggubris, dipanggil, ngumpet, menyebutkan, khawatir, terlahir, perasaan, pulang, mendarat, pemeriksaan paspor, petugas imigrasi, memeriksa, menatapku, penasaran, menelepon, mengabarkan, mengangkat, para penjemput, kulihat, berdesak-desak, tidur, terdengar, sopir taksi, menawarkan jasanya, mengontak, penelepon, mengeluhkan, menegas-negaskan, meralat, menampilkan ekspresi, orang sinting,

3.2 Isotop Tempat
kota kawedanaan, sekolah, kabupaten, Yogya, di perusahaan tempatku, Jakarta, Manado, Paris, Perancis, resto, tinggal lama di sana, di negeri ini, kereta bawah tanah, Bali, Indonesia, Tang Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, stasiun televisi, pasar swalayan dekat gereja Orly, apartemen. di Orly, Malaysia, negeri asing, tanah air, Cengkareng, telepon umum, rumah, di seberang sana, meja pemeriksaan paspor, menuju jalan keluar, banyaknya orang berdesak-desak tidur di sembarang tempat, bandara, stasiun kereta api di Senen atau Gambir, Tak ada mobil lalu-lalang di jalanan seberang, Bandara Soekarno-Hatta, serambi


3.3 Isotop Waktu
sejarah, lama-lama, lalu, kemudian hari, dulu, kian jarang kontak, sudah berapa lama kau tinggal di sini?, saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten, sejak itu, beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai, zaman ke zaman, dari orde ke orde, sesekali, waktu itu, sedang, sudah sangat lama, selama ini, baru terlahir kembali, sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya, saat, hari sudah hampir pagi, menjelang, sambil menunggu, setelah, suasana bandara, entah berapa tahun lewat, tahun berapa sekarang ini?" sekarang tanggal 15 mei, saya benar-benar tidak bertanya soal jam, hari, atau tanggal. tapi, tahun! tahun berapi sekarang?

3.4 Isotop Alam
Bunglon, riz blanc Vietnam dari riz blanc (nasi putih)  Thailand, beras,

3.5 Isotop Gerakan
menyeretku, berpindah tempat, menyebutkan, kontak, susunan manajerialnya direstrukturisasi, pertemuan, ketemu, menyergah, memanggilku, acara kumpul-kumpul, menyapaku, mengulang-ulang, terbahak, suara gus terasa sangat keras dan membahana, aku dan istriku belanja di tang frere, angkat bahu dan alis, menatap tajam, menerangkan, mendapatkan informasi, sensus penduduk, warga yang meninggal dunia, menayangkan investigasi, siaran, eksodus, membedakan taste, ketajaman lidah kuliner, menyebut-nyebut seorang, disebut-sebut, mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran, bicara panjang lebar, revolusi iran, menghadiahi kami sebotol sambal, diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak, perasaan plong, pulang kembali, menyusul istriku, meja pemeriksaan paspor , mencium gelagat aneh, mengabarkan pada istriku, kuulang lagi menelepon rumah, sabuk bagasi terus berputar, diturunkan, beranjak menuju jalan keluar, sambil mengambil tiket bagasiku, mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu, berulang-ulang kucoba lagi menelepon, tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya, buru-buru kucari seorang petugas, pertanyaanku dianggap ganjil, terguncang oleh jetlag, jawabnya menegas-negaskan, menunjukkan raut wajah penuh rasa heran, menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting, raut muka yang kutanya itu mengkerut

Isotop manusia dan isotop gerakan menunjukkan kuantitas besar. Artinya tema cerpen ini berkaitan dengan tema kemanusiaan. Tema utama adalah mengenai pencarian jati diri. Jati diri manusia tidak bisa dihilangkan atau diganti dengan baju lain. Kalaupun hal itu terjadi, maka yang muncul adalah kebohongan atau kemunafikan yang berakibat pada perilaku seperi bunglon. Hidup dengan identitas orang lain. 

Tema kedua adalah negara tidak perlu memaksakan kehendak untuk ”menindas” kaum minoritas. Atas nama negara seorang warga harus hidup dengan budaya orang lain yang tidak dikenalnya. Ada baiknya belajar pada negara Perancis yang tidak ikut campur mengurusi perbedaan ”ras”warganya. Demikian pula warganya yang selalu  bersikap bebas, terbuka kepada setiap bangsa apa pun. sekalipun warga tionghoa bersikap tertutup.
Tema ketiga adalah kesadaran atas jati diri seseorang harus ditunjang oleh situasi dan kondisi yang kondusif (mendukung) ke arah pencapaian itu. Pengakuan , penghargaan, serta perhatian kepada seseorang akan membangun rasa kepemilikan yang pada akhirnya bermuara pada nasionalisme ; kecintaan kepada tanah air.

4. Latar
Secara unum latar cerpen dibagun atas 2 hal, yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik yaitu tempat peristiwa berlangsung ; dalam hal ini tercatat dua kota besar, yaitu Jakarta dan Paris, Perancis. Lebih rinci lagi tempat kisahan di Jakarta adalah Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta perusahaan. Paris : Tang Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, pasar swalayan dekat gereja Orly, apartemen. di Orly, Malaysia

Kota Jakarta dalam realitasnya adalah ibukota negara Indonesia yang memiliki beragam corak kebudayaan dan  suku bangsa. Di sini pun berlangsung berbagai aktivitas manusia berskala nasional dan internasional; pusat pemerintahan, ekonomi, politik (kekuasaan). Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah  adanya multikultural dan multietnik  yang berimbas pada persaingan hidup yang keras. Penduduk Jakarta  digambarkan pada cerpen ini sebagai kota yang jauh dari keramahan , tempat penindasan kaum minoritas (waniktio). Perhatikan peristiwa alih kekuasaan perusahaan, petugas imigrasi dan kesemrawutan di bandara yang seperti stasiun Senen atau Gambir. Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau Gambir?

Kondisi ibukota Perancis, Paris sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di situ pun masyarakatanya multikultural dan multietnik, tetapi masih memiliki keramahan dan tidak menjadi problem. Tegur sapa   terhadap warga masyarakat dunia dilakukan dengan tanpa disertai muatan-muatan tertentu.
Ucapan Gus tidak salah. Dalam kereta bawah tanah, kalau misalnya ada penumpang kereta yang menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka adalah: " Vous etes Vietnamese? [13]

Keterbukaan dan keberterimaan masyarakat Perancis atas perbedaan yang dimiliki setiap warga (dunia) kemungkinan menjadi penyebab tidak adanya konplik sosial, konplik identitas bangsa. Saling memahami dan saling menghargai sesama yang jelas-jelas berbeda latar belakangnya justru menjadi wahana katarsis (penyucian jiwa) seseorang.
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak.

Sedangkan latar sosial adalah adanya konsep pembauran warga Tionghoa dengan pribumi serta peristiwa kerusuhan sosial pada tanggal 15 Mei (1998) yang telah membuat penderitaan watiknio.
Kelompok etnis Cina dalam perspektif sejarah-sosial menunjukkan kedudukan yang signifikan dengan kekuasaan. Mereka sering berada di kelompok kedua, setelah kaum Eropa (penjajah) dan berada  di atas kelompok pribumi (bangsa Indonesia). Kedekatan dengan pemegang kekuasaan menjadikan mereka mudah memperoleh berbagai fasilitas, terutama dalam hubungannya dengan perekonomian. Oleh karena itulah jalur perekonomian sering dikuasai oleh mereka. Dampaknya adalah timbul masalah sosial yang berlarut-larut, yakni kecemburuan sosial dan ketimpangan perolehan pendapatan yang berbanding lurus dengan sebutan kaya – miskin. Orang kaya adalah Cina dan orang miskin adalah bangsa Indonesia. Apalagi peristiwa pemberontakan PKI mengarahkan pada keterlibatan negara Cina di dalamnya. Kondisi seperti ini menyebabkan bagai bara dalam sekam; setiap saat akan muncul dan membakar yang berada di atasnya. Setiap masalah yang menimpa orang Cina akan berubah menjadi sebuah kerusuhan  dan penderitaan bagi mereka. 

Banyak kasus yang menimpa orang Cina atau Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia, menimbulkan kekhawatiran lebih besar lagi. Guna menanggulanginya pemerintah “meluncurkan” program pembauran melalui “nasionalisasi nama”. Pembauran dimulai dengan penggantian nama Cina / Tionghoa ke dalam nama daerah sekaligus pencekalan atau pelarangan pelaksanaan budaya-budaya atau tradisi-tradisi leluhur Tionghoa. Oleh karena itulah, kita sering terkecoh dan mungkin sedikit senyum sinis ketika disebut nama Sastra Darmakusumah, tetapi yang  muncul adalah seorang bermata sipit yang tidak mengerti bahasa daerah. 

Peristiwa sejarah-sosial di atas inilah yang menjadi sebagian latar belakang cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa. Pheng Hwa adalah orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di sebuah kabupaten. Persoalan politik dan sosial telah mengubah jati dirinya menjadi orang lain. Bukanlah keinginannya ia menjadi seorang Tionghoa dan juga bukan keinginannya ia harus mengubah namanya menjadi nama pribumi : Effendi Wardhana. Bagaimana ia menyandang dua nama yang sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya, yakni dua kebudayaan yang berbeda. Ia seorang Tionghoa yang nenek moyangnya nun jauh di sana di negeri Tiongkok  sementara dalam kehidupan sehari-harinya ia hidup di bumi Nusantara  sebagai negara kelahiran keduanya.

 
5. Sudut Pandang yang Digunakan
Pencerita menyampaikan kisahannya dari sudut pandangnya sendiri yaitu  sudut pandang orang pertama protagonis. Penggunaan kata ganti orang pertama :  akuan;  melibatkan pembaca untuk turut serta masuk ke dalam dunia tokoh protagonis. Jadi, cerita lebih bersifat subjektif dan emosional. Tokoh aku mengurai kegelisahan,  ketidakberdayaan, bahkan kemengkalannya melalui   paparan dan dialog. Berikut contoh paparan :

Karena aku dan keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara komunitas waniktio[14] tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.

Sedangkan bentuk dialog dapat dirunut pada percakapan Peng Hwa dengan Gus, kawan lamanya. 

"Karena mereka interes pada orang Vietnam? Kenapa, para Perancis itu masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-bule lainnya, yang sering salah kira terhadap kita sebagai orang Filipina?" sergahku. "Apakah dalam zaman globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih juga gemblung menganggap Bali itu ada di luar Indonesia, seperti yang digambarkan banyak wartawan Indonesia dari zaman ke zaman, dari orde ke orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon, suara Gus terasa sangat keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci kalimatnya.


Kehidupan yang menurutnya tidak normal itu ia jalani dengan “kepasrahan semu” sehingga dalam kurun waktu tertentu keterpaksaan itu berubah menjadi kebiasaan. Effendi Wardhana telah menjelma menjadi seorang Indonesia. Orang lebih mengenal nama itu daripada Pheng Hwa  atau Ping An.
Sebuah peristiwa memaksa Effendi Wardhana hijrah ke negeri Perancis, tepatnya di Paris. Di kota ini ia dihadapkan pada realitas yang berbeda dengan negri asalnya, Indonesia. Suka atau tidak nama Pheng Hwa  atau Ping An kembali bergema, bahkan nama itu lebih dihargai, walaupun terasa asing ditelinganya. Ia merasakan nama   Ping An itu mempunyai nuansa berbeda. 

"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.

Sejak itu, kawan-kawan di Paris mulai memanggilku Ping , "Tak soal, Ping: di negeri ini, tampang kayak kamu justru lebih dihargai dibandingkan aku," kata Gus beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai dan masing-masing hendak meninggalkan resto.






[1] Waniktio, kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang diterbitkan ulang oleh Garba Ludaya, Jakarta, 1998
[2] Singkek, sebutan untuk Tionghoa totok
[3] Ada beberapa resto milik orang-orang Indonesia yang "terbuang", karena alasan politik. Salah satu diantaranya terletak di Rue Vaugirard sebuah jalan terpanjang di Paris.

[4] Bahasa Perancis: "Anda dari Vietnam?"
[5] Tang Frere, nama pasar swalayan terbesar di Eropa (Barat)
[6] Bercakap dalam bahasa Perancis
[7] Bahasa mandarin: "Bukankah Anda dari Cina? Kenapa Anda tidak ngomong dalam bahasa Cina?"
[8] Artinya sama dengan bahasa Inggris: "So What?"
[9] "Lho kok'memangnya kenapa sih?"
[10] Madame: Nyonya Lucien Goldman, asal Hungaria, "lari" ke Perancis dan kemudian menjadi ilmuwan strukturalisme-genetik, menikah dua kal
[11] Riz blanc: nasi putih
[12] Film produksi 1984 ini berkisah perihal seorang tokoh dalam Piala Dunia ini yang terlontar menembus ruang waktu dan terdampar ke tahun 1984; sehingga ketika dia menelpon ke rumah yang menerima adalah kekasihnya yang sudah tua
[13] Bahasa Perancis: "Anda dari Vietnam?"
[14] Waniktio, kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang diterbitkan ulang oleh Garba Ludaya, Jakarta, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PANGGIL AKU: PHENG HWA

KAJIAN CERITA PENDEK : PANGGIL AKU: PHENG HWA Karya : Veven Sp Wardhana Oleh AGUS HERYANA Teks: SEJARAH telah me...