KAJIAN CERITA PENDEK :
PANGGIL AKU: PHENG HWA
Karya : Veven Sp Wardhana
Oleh
AGUS HERYANA
Teks:
SEJARAH telah
menyeretku menjadi bunglon: cepat berganti nama begitu berpindah tempat
hinggap. Ada
saatnya kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, ada masanya kusebutkan namaku
sebagai Effendi Wardhana, sebuah nama sebagaimana tertulis di KTP, atau menurut
istilah kami sering disebut sebagai nama pemberian negara.
Karena aku dan
keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara
komunitas waniktio[1]
tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor
polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara
itu.
Lama-lama, bukan
hanya pada kantor resmi itu harus kusebutkan nama KTP itu. Pada kawan sekolah
lanjutan di kota kabupaten, pada rekan kuliah di
Yogya, pada sesama karyawan di perusahaan tempatku bekerja di Jakarta pun nama yang sama dengan yang di KTP
itulah yang kuperkenalkan. Lalu, aka pun kemudian jadi terbiasa dengan nama
Effendi Wardhana, sementara kalau ada yang memanggilku Pheng Hwa, bahkan dulu
terkadang singkek [2] kuping jadi mendadak gatal.
Di kemudian
hari, barangkali juga karena aku sudah kian jarang kontak dengan keluarga
karena berbagai alasan, kesadaranku bahwa aku adalah waniktio menjadi semakin
mengabur. Justru istrikulah, asal Manado,
yang kerap disangka kawan-kawan di Jakarta sebagai Tionghoa.
Lalu, ketika
perusahaan tempatku bekerja dianggap bermasalah dan kemudian susunan
manajerialnya direstrukturisasi, antara lain dengan memasukkan beberapa nama
yang diusulkan pihak pemerintah, tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan
itu, aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih
mengikuti anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana
istriku telah terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama di Paris,
Perancis.
Di Paris, dalam
sebuah pertemuan di resto milik orang Indonesia
yang sudah tinggal lama di sana
[3]
aku ketemu bekas kawan sekolah.
"He, Ping
An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia
mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian
bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa
berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia
memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di
sekolah di ibukota kabupaten.
Sejak itu,
kawan-kawan di Paris mulai mernanggilku Ping ,
"Tak soal, Ping: di negeri ini, tampang kayak kamu justru lebih
dihargai dibandingkan aku," kata Gus beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul
itu selesai dan masing-masing hendak meninggalkan resto.
Ucapan Gus tidak
salah. Dalam kereta bawah tanah, kalau misalnya ada penumpang kereta yang
menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka adalah: " Vous etes Vietnamese? [4]
"Karena mereka interes pada orang Vietnam? Kenapa,para Perancis itu
masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-ble lainnya, yang sering salah kira
terhadap kita sebagai orang Filipina?" sergahku. "Apakah dalam zaman
globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih juga gemblung menganggap Bali itu
ada di luar Indonesia, seperti yang digambarkan banyak wartawan Indonesia dari
zaman ke zaman, dari orde ke orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit
ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon, suara Gus terasa sangat
keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci
kalimatnya.
Gus benar, masih ada yang tersisa sebagai rahasia yang tidak kupahami. Juga
ketika aku dan istriku belanja di Tang Frere [5]
kawasan Porte de Choisy, semua Cina yang kutemukan di wilayah Paris distrik 13
ini tak satu pun yang bicara dalam bahasa Mandarin. Bahkan sesama Cina pun
mereka ber-parlez Francaise.[6]
"Ni shi zhong Guoren, wei shen me bu hui shuo Huayu?"[7]
tanyaku heran.
Mereka hanya angkat bahu dan alis, sambil menatap tajam padaku lewat
ekspresi yang tak kalah penuh rasa heran.
"Mais, Vous etes Chinois, n’est pas? Pourqoi Vous ne parlez pas,
Chinois?" kuulangi lagi pertanyaanku dalam Perancis.
Panggil Aku: Wmg Hwa
"Eh, donc? Na shi wei
shen me ne?" [9]
sergahku membalik pertanyaan mereka, dalam
bahasa campur-baur.
"Asalmu dari mana sih? Kamu pakai akte kelahiran siapa?" tanya
salah seorang dari mereka kemudian.
Pakai akte kelahiran siapa?
Istrikulah yang kermidiLn menerangkan. Istriku bilang, dia banyak
mendapatkan informasi dari Madame Goldmann [10]. Katanya, sensus penduduk di pecinan tak
pernah meninggalkan catatan yang menyatakan adanya jumlah penduduk yang
berkurang, kendati ada warga yang meninggal dunia. Dulu, pernah sebuah stasiun
televisi menayangkan investigasi mereka perihal misteri jumlah penduduk itu.
Toh, siaran yang diniatkan sebagai serial panjang itu dihentikan di tengah
jalan, tanpa ada sedikit pun penjelasan.
"Akte milik yang mati itu namanya dipakai imigran dari Cina yang
eksodus karena revolusi kebudayaan," kata istriku. Diam-diam aku memuji kelincahan istriku dalam
mendapat dan mengumpulkan informasi.
Salah satu kelihaian istriku lainnya, dengan cepat pula dia mampu membedakan
taste antara riz blanc Vietnam dari riz
blanc [11] Thailand, yang berasnya dua-duanya bisa
dibeli di pecinan atau di pasar swalayan dekat gereja Orly. Tapi, ketajaman
lidah kuliner itu bukan diperolehnya dari Nyonya Goldmann. Entah dari siapa.
Yang jelas, sesekali dia menyebut-nyebut seorang kawan studinya yang tinggal di
sebuah apartemen. di Orly. Kawannya yang juga asal Indonesia ini, menurut
penilaian istriku, agak enggan kumpul-kumpul dengan sesama warga Indonesia
lainnya.
"Dia ipar ekonom Indonesia yang kerja untuk konglomerat,"
komentar istriku.
***
PHENG Hwa, memang namaku. Namun, saat aku bertemu dengan ipar ekonom yang
disebut-sebut istriku itu, yang kusebutkan justru nama pemberian negara itu.
Waktu itu, ipar itusedang mengadakan nama acara syukuran atas kelahiran anak
pertamanya, yang sudah sangat lama mereka dambakan kelahirannya. Dalam acara
itu, tetangga kiri kanan di apartemen di selatan Paris itu juga diundang.
Jadinya, ada juga satu-dua orang Perancis, Aljazair, Maroko, dan Italia.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari Malaya?" tanya
seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang Anda maksud adalah
Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku mencoba menerangkan
dengan penuh kesabaran.
Tamu lain, orang Aljazair, kemudian bicara panjang lebar mengenai revolusi
Iran. Sementara warga asal Maroko kemudian menghadiahi kami sebotol sambal
bikinannya. Dari situ aku dan istriku
kemudian bisa membedakan rasa antara sambal Maroko dibandingkan sambal Aljazair.
***
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak
lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam
menyelinap, dan mengendap dalam benak.
Aku tak lagi menggubris aku akan dipanggil dengan nama apa, toh, aku sudah
tidak lagi merasa ngumpet —entah dari
apa— jika harus menyebutkan nama pemberian negara itu. Juga aku tak perlu
merasa khawatir --entah karena apa— jika kemudian ada yang memanggilku pakai
nama waniktio itu.
Aku merasa baru terlahir kembali.
Dengan perasaan plong macam itulah aku kini pulang kembali ke Tanah Air, ke
Jakarta, menyusul istriku yang sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya.
Saat mendarat di Cengkareng, hari sudah hampir pagi.
Menjelang melewati meja pemeriksaan paspor, aku mencium gelagat aneh. Entah
apa. Petugas imigrasi yang memeriksa paspor pun perlu menatapku dengan tajam,
sambil bercampur rasa penasaran. Entah pula karena apa. Sambil menunggu bagasi,
aku mencari telepon umum dan menelepon ke rumah, mengabarkan pada istriku bahwa
aku sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Di seberang tak ada yang mengangkat
telepon. Kuulang lagi menelepon rumah dengan nomor satunya. Tetap saja tak ada
yang mengangkat di seberang sana.
Sabuk bagasi terus berputar dan satu persatu tas mulai diturunkan. Kucoba
kuulang menelepon. Hampa.
Setelah kuambil beberapa tasku dan kutumpuk di atas troli, aku beranjak
menuju jalan keluar.
"Ada keluarga yang menjemput?" tanya petugas di pintu keluar
sambil mengambil tiket bagasiku. Aku tak sempat menjawabnya karena mataku
segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu. Sama sekali aku tak menemukan istriku atau
keluarga yang lain. Yang kulihat adalah banyaknya orang berdesak-desak tidur di
sembarang tempat.Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta
api di Senen atau Gambir?
Kucoba lagi menelepon ke rumah. Yang terdengar tetap nada sambung, tapi
tetap juga di seberang sana tak ada yang mengangkatnva.
Berulang-idang kucoba lagi menelepon lewat telepon umum di sebelahnya, di
sebelahnya lagi, di sebelahnya lagi. Tetap tak ada yang mengangkat.
Tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya. Tak ada mobil lalu-lalang di jalanan seberang. Aku
makin merasakan bahwa aku sedang tidak berada di wilayah bandara.
Ternyata, bukan hanya aku yang gagal mengontak telepon ke rumah. Para
penelepon lainnya juga mengeluhkan hal yang sama: jika tidak ada yang
mengangkat, justru telepon di seberang sedang on-line.
Diam-diam aku teringat pada film The
Philadelphia Experiment[12]
yang pernah kutonton entah berapa
tahun lewat. Buru-buru kucari seorang petugas.
"Tahun berapa sekarang ini?" tanyaku pada seorang petugas.
Tampaknya, pertanyaanku dianggap ganjil. Tahun berapa?
Pastilah petugas itu menganggap aku terguncang oleh jetlag yang sangat luar
biasa.
"Sekarang tanggal 15 Mei," jawabnya menegas-negaskan, seolah
sekalian meralat pertanyaanku.
"Ya, tapi tahun berapa?" sergahku. Dan bukan hanya petuga itu
yang kini menunjukkan raut wajah penuh rasa heran. Orang-orang di sekeliling
yang kebetulan mendengar pertanyaanku yang tampaknya cukup keras itu bahkan,
menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting.
"Tahun berapa sekarang?" tanyaku pada orang di sampingku Raut
muka yang kutanya itu mengkerut. Aku tafsirkan dia sedang bertanya mengenai
diriku.
"Panggil saja nama saya: Pheng Hwa. Saya benar-benar tidal bertanya
soal jam, hari, atau tanggal. Tapi, tahun! Tahun berapi sekarang?"*
* Porte de Choisy, September 1995; Utan Kayu, September 1998
ANALISIS
Pengantar
Cerpen Panggil
Aku: Pheng Hwa berkisah tentang problematika warga keturunan Tionghoa
(waniktio) di negri yang berbeda. Pertama di negri Indonesia, Jakarta dan kedua
di negri Perancis, Paris. Perbedaan cara pandang yang disebabkan latar belakang
perbedaan sosial budaya ternyata memberi dampak yang berbeda pula. Bagaimana
sikap dan posisi seorang waniktio, yang diperankan oleh tokoh cerita Pheng Hwa,
menghadapi semua itu. Inilah inti cerita yang ingin disampaikan
pengarangnya, Veven Sp Wardhana.
Cerpen Panggil
Aku: Pheng Hwa sebagai karya sastra sudah sewajarnya memiliki ciri-ciri
kesastraannya diantaranya adalah sifat rekaan atau fiksionalitasnya. Di samping
itu sebagai teks karya sastra, ia
dibangun di atas peristiwa-peristiwa yang membentuk sebuah keutuhan
kisahan. Di dalamnya pula terbangun bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berhubungan, beratutan menjalin harmoni estetik dalam kerangka menyampaikan
gagasan atau ide pengarang. Oleh karena itu, guna mengetahui kandungan cerpen
yang dimaksud akan dianalisis struktur yang membangun ceritanya.
1. Alur
Sebuah kisahan
rekaan dibangun berdasarkan urutan-urutan peristiwa yang disusun untuk sebuah
keperluan. Susunan urutan peristiwa ini
–dalam perspektif struktur cerita - menjadi tulang punggung atau kerangka bangunan
sebuah cerita. Kerangka cerita biasanya
disusun dalam bentuk kausalitas yang sering dikenal dengan sebutan alur. Alur
cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa tampaknya membentuk alur linear mengingat
susunan peristiwa yang terjadi di dalamnya berurutan dan bertautan antara satu
dengan yang lainnya. Tak tampak adanya loncatan cerita atau mengulang cerita
(kisahan sorot balik). Alur disusun mengalir sambung menyambung hingga berhenti
pada satu peristiwa yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca.
Kisah diawali
dengan memperkenalkan tokoh cerita seorang warga keturunan Tionghoa bernama Pheng
Hwa atau Ping An. Sang tokoh karena
sesuatu sebab ”dipaksa” untuk berganti nama menjadi Effendi Wardhana.
Selanjutnya susunan alur linear cerpen yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Pheng Hwa atau Ping An seorang warga Indonesia
keturunan Tionghoa yang harus berganti nama menjadi Effendi
Wardhana;
Nama Effendi
Wardhana, sebagai pemberian negara, mempermudah berbagai urusan birokrasi;
Proses waktu
membuat nama Effendi Wardhana lebih dikenal dari pada Pheng Hwa atau Ping An. Nyaris tak lagi ia dikenali
lagi sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Sebuah peristiwa
memaksa Effendi Wardhana berhijrah ke negri Perancis, tepatnya kota Paris.
Pertemuan dengan
kawan lama bernama Gus mengembalikan
jati dirinya sebagai Pheng Hwa atau Ping
An;
Masyarakat Paris
lebih menghargai wajah Pheng Hwa atau
Ping An dari pada ”wajah” Effendi Wardhana;
Masyarakat Paris lebih
terbuka dan tidak mempermasalahkan asal-usul seseorang.
Ping An merasa
marah kepada bangsanya sendiri, Tionghoa, yang tidak mau memperlihatkan
ketionghoaannya, bahkan cenderung bersikap eklusif, tertutup.
Pertemuan di
rumah ipar ekonom dengan berbagai bangsa menyadarkan dirinya bahwa nama
menunjukkan identitas seseorang
Ping An atau Effendi Wardhana pulang ke Indonesia
dengan perasaan ”plong” , tanpa beban psikologis.
Di Jakarta
terjadi kemelut yang mengguncangkan jiwanya. Tanggal 15 Mei terjadi peristiwa
”eksodus” orang Tionghoa.
Di tengah
keputusaan, kesia-siaan dan ketidakmengertian telah memunculkan jati diri
sesungguhnya; tanpa sungkan lagi ia mengaku bahwa dirinya adalah orang
Tionghoa; ”Panggil saja nama saya : Pheng Hwa
Dalam lingkup
pengaluran, peristiwa 1,2, dan 3 merupakan lingkup pemaparan (mukadimah) awal
kisah. Munculnya peristiwa baru yakni adanya restrukturisasi di perusahaan
tempat bekerjanya merangsang munculnya peristiwa baru., yaitu mencari beasiswa
di Paris, Perancis.
tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan itu,
aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih mengikuti
anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana istriku telah
terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama
di Paris, Perancis.
Peristiwa 5, s.d.
9 merupakan kisahan yang berlangsung di Paris. Di sinilah tokoh cerita
mengalami goncangan jiwa, krisis identitas. Pertemuan dengan kawan lama, Gus,
mulai membangkitkan kenangan lamanya yang ia telah kubur dengan paksa.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal
di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak
hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan
singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada
nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama
belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.
Kegamangan tokoh
terhadap identitasnya menjadi-jadi ketika ia dihadapkan pada komunitas
bangsanya di Paris yang bersifat tertutup. Ia begitu terkejut menyaksikan warga
Tionghoa di Paris tidak mau memperlihatkan jati diri sesungguhnya, bahkan
menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Namun demikian, pertemuan di tempat
ipar ekonom dengan berbagai suku bangsa telah menyadarkan bahwa sebuah nama
ternyata mengandung sebuah identitas.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari
Malaya?" tanya seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang
Anda maksud adalah Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku
mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran.
Alur mulai
menurun seolah-olah menuju penyelesaian dengan pengakuan tokoh yang merasa
plong terhadap berbagai peristiwa yang menimpanya. Peristiwa 10 sebenarnya
ancang-ancang kearah alur leraian yang mengagetkan. Peristiwa baru muncul di
tengah-tengah kesadaran yang pada akhirnya harus memilih sebuah identitas.
Secara
keseluruhan kisah kita dapat memahami adanya tanda 3 bintang (***) yang ditempatkan pada akhir kisah yang
dianggap selesai. Artinya, secara ringkas cerpen ini terdiri atas 3 bagian
cerita , jika tanda bintang itu dianggap
sebagai batas bagian cerita . Bagian pertama dimulai dari urutan peristiwa 1
hingga 8; bagian kedua adalah urutan peristiwa ke 9; dan bagian ketiga cerita adalah
peristiwa ke 10 hingga 12.
2. Tokoh dan
Penokohan
Ada 6 tokoh
cerita yang tercatat pada cerpen ”Panggil Aku :
Pheng Hwa”, yaitu : (1) Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana,
(2) isteri Pheng Hwa, (3) Gus kawan lamanya, (4) ipar ekonom, (5) petugas
imigrasi, (6) warga keturunan Tionghoa.
Keenam tokoh cerita ini dibedakan atas, pertama, tokoh utama (sentral), yaitu Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana.
Kedua, tokoh bawahan, yaitu isteri Pheng
Hwa, Gus kawan lamanya, dan ipar ekonom. Ketiga, tokoh figuran (pembantu) adalah petugas
imigrasi dan warga keturunan Tionghoa.
Tokoh utama
menjadi sentral cerita yang memiliki karakter sebagai berikut: tokoh cerita
bernama Pheng Hwa atau Ping An seorang
warga keturunan Tionghoa yang kemudian berganti nama Effendi Wardhana. Ia
bekerja di perusahaan swasta di bidang broadcasting,
penyiaran. Pheng Hwa sifatnya tidak mau berkonfrontasi atau menentang. Ia
cenderung mengalah, menghindari masalah dan tidak mau melibatkan diri pada berbagai urusan.
Akibat semua itu, ia mudah melupakan identitas dirinya bahkan sedikit
oportunis, tetapi juga ia memiliki kesadaran ”nasionalisme” yang tinggi.
Ketidaksukaan dipanggil singkek dan kemengkalan kepada kaumnya di Paris serta
kedongkolan kepada bule-bule merupakan cerminan nasionaismenya.
Karakter tokoh
bawahan yaitu isteri Pheng Hwa, Gus
kawan lamanya, dan ipar ekonom dapat dikemukakan sebagai berikut:
Isteri Pheng Hwa
digambarkan sebagai wanita Menado yang memiliki wajah lebih Tionghoa dari pada
Pheng Hwa. Selama perjalanan
hidupnya ia tidak pernah menemui masalah dalam bersosialisasi-interaksi sosial.
Padahal secara genetik ia menunjukkan wajah Tionghoa. Sifatnya digambarkan
sebagai wanita yang beripikiran maju ke depan (futuris) yang menyarankan
suaminya, Pheng Hwa untuk mencari beasiswa ke Paris. Ia pun bersifat supel, pandai bergaul, lincah
memperoleh informasi serta cepat dan mudah beradaptasi.
Gus, kawan lama
Pheng Hwa adalah seorang pribumi yang bersifat jujur. Pangilan Ping An sebagai
nama panggilan untuk kawan yang sudah akrab diucapkan tanpa disertai penghinaan
atau perasaan merendahkan. Apa adanya dan perhatian (interes) kepada orang
lain.
Ipar ekonom
digambarkan seorang yang tidak mau berkumpul dengan orang kebanyakan. Ia lebih
menyenangi memencilkan diri; asik dengan dunianya sendiri. Kalaupun bergaul, ia
lebih suka berhubungan dengan orang dekat dan orang-orang asing berkelas.
Tokoh figuran
atau tokoh pembantu adalah petugas imigrasi dan warga keturunan Tionghoa.
Petugas imigrasi digambarkan sebagai petugas yang selalu curiga kepada orang
keturunan; sedangkan tokoh figuran warga keturunan Tionghoa digambarkan sebagai
kelompok minoritas yang tidak mau membuka diri kepada bangsa lain.
3. Tema
Tema cerpen dapat
disimpulkan pada pengelompokan isotopi-isotopi berikut.
3.1 Isotop Manusia
kukenalkan diriku
sebagai Pheng Hwa, namaku sebagai Effendi Wardhana, KTP, kami, nama pemberian
negara, aku, keluargaku, komunitas waniktio, orang, Pheng Hwa, atau Ping An,
kantor polsek, instansi pemerintah, kawan sekolah, rekan kuliah, sesama
karyawan, Effendi Wardhana, singkek, istrikulah, Tionghoa., pihak pemerintah,
kebijakan, beasiswa, broadcasting, orang Indonesia, pertemuan, Gus, nama
kawanku, acara kumpul-kumpul, memanggilku, ucapan, penumpang, menyapaku, pertanyaan,
mereka, Vietnamese, orang Vietnam,
bule-bule, orang Filipina, wartawan, sergahku, ingin tahu., terbahak, belanja,
semua Cina, bicara, bahasa Mandarin, tanyaku, angkat bahu dan alis, menatap
tajam, bahasa campur-baur, akte kelahiran, menerangkan, informasi, Madame
Goldman, katanya, sensus penduduk, catatan, warga, meninggal dunia,
menayangkan, investigasi, mati, imigran, eksodus, revolusi kebudayaan,
penjelasan, memuji, mengumpulkan, ketajaman lidah kuliner, menyebut-nyebut,
ipar ekonom Indonesia, konglomerat, komentar, bertemu, acara syukuran,
kelahiran anak, tetangga, diundang, anda, Muslim, Malaya, seorang, saya,
kesabaran, tamu , bicara, revolusi Iran, menghadiahi, membedakan rasa, orang
Aljazair, warga asal Maroko, menyelinap, menggubris, dipanggil, ngumpet,
menyebutkan, khawatir, terlahir, perasaan, pulang, mendarat, pemeriksaan
paspor, petugas imigrasi, memeriksa, menatapku, penasaran, menelepon,
mengabarkan, mengangkat, para penjemput, kulihat, berdesak-desak, tidur,
terdengar, sopir taksi, menawarkan jasanya, mengontak, penelepon, mengeluhkan,
menegas-negaskan, meralat, menampilkan ekspresi, orang sinting,
3.2 Isotop Tempat
kota kawedanaan,
sekolah, kabupaten, Yogya, di perusahaan tempatku, Jakarta, Manado, Paris,
Perancis, resto, tinggal lama di sana, di negeri ini, kereta bawah tanah, Bali,
Indonesia, Tang Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, stasiun televisi,
pasar swalayan dekat gereja Orly, apartemen. di Orly, Malaysia, negeri asing,
tanah air, Cengkareng, telepon umum, rumah, di seberang sana, meja pemeriksaan
paspor, menuju jalan keluar, banyaknya orang berdesak-desak tidur di sembarang
tempat, bandara, stasiun kereta api di Senen atau Gambir, Tak ada mobil
lalu-lalang di jalanan seberang, Bandara Soekarno-Hatta, serambi
3.3 Isotop Waktu
sejarah,
lama-lama, lalu, kemudian hari, dulu, kian jarang kontak, sudah berapa lama kau
tinggal di sini?, saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun
yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten, sejak itu, beberapa
saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai, zaman ke zaman, dari orde ke
orde, sesekali, waktu itu, sedang, sudah sangat lama, selama ini, baru terlahir
kembali, sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya, saat, hari sudah hampir
pagi, menjelang, sambil menunggu, setelah, suasana bandara, entah berapa tahun
lewat, tahun berapa sekarang ini?" sekarang tanggal 15 mei, saya
benar-benar tidak bertanya soal jam, hari, atau tanggal. tapi, tahun! tahun
berapi sekarang?
3.4 Isotop Alam
Bunglon, riz blanc Vietnam dari riz blanc (nasi putih) Thailand, beras,
3.5 Isotop Gerakan
menyeretku,
berpindah tempat, menyebutkan, kontak, susunan manajerialnya direstrukturisasi,
pertemuan, ketemu, menyergah, memanggilku, acara kumpul-kumpul, menyapaku, mengulang-ulang,
terbahak, suara gus terasa sangat keras dan membahana, aku dan istriku belanja
di tang frere, angkat bahu dan alis, menatap tajam, menerangkan, mendapatkan
informasi, sensus penduduk, warga yang meninggal dunia, menayangkan investigasi,
siaran, eksodus, membedakan taste, ketajaman
lidah kuliner, menyebut-nyebut seorang, disebut-sebut, mencoba menerangkan
dengan penuh kesabaran, bicara panjang lebar, revolusi iran, menghadiahi kami
sebotol sambal, diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak, perasaan plong,
pulang kembali, menyusul istriku, meja pemeriksaan paspor , mencium gelagat
aneh, mengabarkan pada istriku, kuulang lagi menelepon rumah, sabuk bagasi
terus berputar, diturunkan, beranjak menuju jalan keluar, sambil mengambil
tiket bagasiku, mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi
itu, berulang-ulang kucoba lagi menelepon, tak ada pula sopir taksi yang
menawarkan jasanya, buru-buru kucari seorang petugas, pertanyaanku dianggap
ganjil, terguncang oleh jetlag, jawabnya menegas-negaskan, menunjukkan raut
wajah penuh rasa heran, menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah
orang sinting, raut muka yang kutanya itu mengkerut
Isotop manusia
dan isotop gerakan menunjukkan kuantitas besar. Artinya tema cerpen ini
berkaitan dengan tema kemanusiaan. Tema utama adalah mengenai pencarian jati
diri. Jati diri manusia tidak bisa dihilangkan atau diganti dengan baju lain.
Kalaupun hal itu terjadi, maka yang muncul adalah kebohongan atau kemunafikan
yang berakibat pada perilaku seperi bunglon. Hidup dengan identitas orang lain.
Tema kedua adalah
negara tidak perlu memaksakan kehendak untuk ”menindas” kaum minoritas. Atas nama negara seorang warga harus hidup
dengan budaya orang lain yang tidak dikenalnya. Ada baiknya belajar pada negara
Perancis yang tidak ikut campur mengurusi perbedaan ”ras”warganya. Demikian
pula warganya yang selalu bersikap
bebas, terbuka kepada setiap bangsa apa pun. sekalipun warga tionghoa bersikap
tertutup.
Tema ketiga
adalah kesadaran atas jati diri seseorang harus ditunjang oleh situasi dan
kondisi yang kondusif (mendukung) ke arah pencapaian itu. Pengakuan ,
penghargaan, serta perhatian kepada seseorang akan membangun rasa kepemilikan
yang pada akhirnya bermuara pada nasionalisme ; kecintaan kepada tanah
air.
4. Latar
Secara unum latar
cerpen dibagun atas 2 hal, yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik
yaitu tempat peristiwa berlangsung ; dalam hal ini tercatat dua kota
besar, yaitu Jakarta dan Paris, Perancis. Lebih rinci lagi tempat kisahan di
Jakarta adalah Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta perusahaan. Paris : Tang
Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, pasar swalayan dekat gereja Orly,
apartemen. di Orly, Malaysia
Kota Jakarta
dalam realitasnya adalah ibukota negara Indonesia yang memiliki beragam corak kebudayaan
dan suku bangsa. Di sini pun berlangsung berbagai aktivitas manusia
berskala nasional dan internasional; pusat pemerintahan, ekonomi, politik
(kekuasaan). Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah adanya multikultural dan multietnik yang berimbas pada persaingan hidup yang
keras. Penduduk Jakarta digambarkan pada
cerpen ini sebagai kota yang jauh dari keramahan , tempat penindasan kaum
minoritas (waniktio). Perhatikan peristiwa alih kekuasaan perusahaan, petugas
imigrasi dan kesemrawutan di bandara yang seperti stasiun Senen atau Gambir. Ah,
kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau
Gambir?
Kondisi ibukota
Perancis, Paris sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di situ pun
masyarakatanya multikultural dan multietnik, tetapi masih memiliki keramahan
dan tidak menjadi problem. Tegur
sapa terhadap warga masyarakat dunia
dilakukan dengan tanpa disertai muatan-muatan tertentu.
Ucapan Gus tidak salah. Dalam kereta bawah tanah,
kalau misalnya ada penumpang kereta yang menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka
adalah: " Vous etes Vietnamese? [13]
Keterbukaan dan keberterimaan
masyarakat Perancis atas perbedaan yang dimiliki setiap warga (dunia)
kemungkinan menjadi penyebab tidak adanya konplik sosial, konplik identitas
bangsa. Saling memahami dan saling menghargai sesama yang jelas-jelas berbeda
latar belakangnya justru menjadi wahana katarsis (penyucian jiwa) seseorang.
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau
Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana
yang selama ini diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak.
Sedangkan latar
sosial adalah adanya konsep pembauran warga Tionghoa dengan pribumi serta
peristiwa kerusuhan sosial pada tanggal 15 Mei (1998) yang telah membuat
penderitaan watiknio.
Kelompok etnis
Cina dalam perspektif sejarah-sosial menunjukkan kedudukan yang signifikan
dengan kekuasaan. Mereka sering berada di kelompok kedua, setelah kaum Eropa
(penjajah) dan berada di atas kelompok
pribumi (bangsa Indonesia). Kedekatan dengan pemegang kekuasaan menjadikan
mereka mudah memperoleh berbagai fasilitas, terutama dalam hubungannya dengan
perekonomian. Oleh karena itulah jalur perekonomian sering dikuasai oleh
mereka. Dampaknya adalah timbul masalah sosial yang berlarut-larut, yakni
kecemburuan sosial dan ketimpangan perolehan pendapatan yang berbanding lurus
dengan sebutan kaya – miskin. Orang kaya adalah Cina dan orang miskin adalah
bangsa Indonesia. Apalagi peristiwa pemberontakan PKI mengarahkan pada
keterlibatan negara Cina di dalamnya. Kondisi seperti ini menyebabkan bagai
bara dalam sekam; setiap saat akan muncul dan membakar yang berada di atasnya.
Setiap masalah yang menimpa orang Cina akan berubah menjadi sebuah
kerusuhan dan penderitaan bagi mereka.
Banyak kasus yang
menimpa orang Cina atau Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia, menimbulkan
kekhawatiran lebih besar lagi. Guna menanggulanginya pemerintah “meluncurkan”
program pembauran melalui “nasionalisasi nama”. Pembauran dimulai dengan
penggantian nama Cina / Tionghoa ke dalam nama daerah sekaligus pencekalan atau
pelarangan pelaksanaan budaya-budaya atau tradisi-tradisi leluhur Tionghoa. Oleh
karena itulah, kita sering terkecoh dan mungkin sedikit senyum sinis ketika
disebut nama Sastra Darmakusumah, tetapi yang
muncul adalah seorang bermata sipit yang tidak mengerti bahasa daerah.
Peristiwa
sejarah-sosial di atas inilah yang menjadi sebagian latar belakang cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa. Pheng Hwa adalah
orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di sebuah kabupaten. Persoalan politik
dan sosial telah mengubah jati dirinya menjadi orang lain. Bukanlah
keinginannya ia menjadi seorang Tionghoa dan juga bukan keinginannya ia harus
mengubah namanya menjadi nama pribumi : Effendi Wardhana. Bagaimana ia menyandang
dua nama yang sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya, yakni dua
kebudayaan yang berbeda. Ia seorang Tionghoa yang nenek moyangnya nun jauh di
sana di negeri Tiongkok sementara dalam
kehidupan sehari-harinya ia hidup di bumi Nusantara sebagai negara kelahiran keduanya.
5. Sudut Pandang
yang Digunakan
Pencerita
menyampaikan kisahannya dari sudut pandangnya sendiri yaitu sudut pandang orang pertama protagonis.
Penggunaan kata ganti orang pertama : akuan;
melibatkan pembaca untuk turut serta masuk ke dalam dunia tokoh
protagonis. Jadi, cerita lebih bersifat subjektif dan emosional. Tokoh aku
mengurai kegelisahan, ketidakberdayaan,
bahkan kemengkalannya melalui paparan
dan dialog. Berikut contoh paparan :
Karena aku dan keluargaku tinggal di kota
kawedanaan, sementara komunitas waniktio[14]
tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping
An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi
pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.
Sedangkan bentuk
dialog dapat dirunut pada percakapan Peng Hwa dengan Gus, kawan lamanya.
"Karena mereka interes pada orang Vietnam?
Kenapa, para Perancis itu masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-bule
lainnya, yang sering salah kira terhadap kita sebagai orang Filipina?"
sergahku. "Apakah dalam zaman globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih
juga gemblung menganggap Bali itu ada di luar Indonesia, seperti yang
digambarkan banyak wartawan Indonesia dari zaman ke zaman, dari orde ke
orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon,
suara Gus terasa sangat keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih
banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci kalimatnya.
Kehidupan yang
menurutnya tidak normal itu ia jalani dengan “kepasrahan semu” sehingga dalam
kurun waktu tertentu keterpaksaan itu berubah menjadi kebiasaan. Effendi Wardhana telah menjelma menjadi
seorang Indonesia. Orang lebih mengenal nama itu daripada Pheng Hwa atau Ping An.
Sebuah peristiwa
memaksa Effendi Wardhana hijrah ke negeri Perancis, tepatnya di Paris. Di kota
ini ia dihadapkan pada realitas yang berbeda dengan negri asalnya, Indonesia.
Suka atau tidak nama Pheng Hwa atau Ping
An kembali bergema, bahkan nama itu lebih dihargai, walaupun terasa asing
ditelinganya. Ia merasakan nama Ping
An itu mempunyai nuansa berbeda.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau
tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku.
Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan
sebutan singkek. Sekalipun kupingku
mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan
saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa
masih di sekolah di ibukota kabupaten.
Sejak itu, kawan-kawan di Paris mulai
memanggilku Ping , "Tak soal, Ping: di negeri ini,
tampang kayak kamu justru lebih dihargai dibandingkan aku," kata Gus
beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai dan masing-masing
hendak meninggalkan resto.
[1] Waniktio, kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di
Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang diterbitkan ulang oleh Garba
Ludaya, Jakarta, 1998
[2] Singkek, sebutan untuk Tionghoa totok
[3] Ada beberapa resto milik
orang-orang Indonesia yang "terbuang", karena alasan politik. Salah
satu diantaranya terletak di Rue Vaugirard sebuah jalan terpanjang di Paris.
[4] Bahasa Perancis: "Anda dari
Vietnam?"
[6] Bercakap dalam bahasa Perancis
[7] Bahasa mandarin: "Bukankah Anda dari Cina? Kenapa Anda tidak
ngomong dalam bahasa Cina?"
[10] Madame: Nyonya Lucien Goldman, asal Hungaria, "lari" ke
Perancis dan kemudian menjadi ilmuwan strukturalisme-genetik, menikah dua kal
[12] Film produksi 1984 ini berkisah perihal seorang tokoh dalam Piala
Dunia ini yang terlontar menembus ruang waktu dan terdampar ke tahun 1984;
sehingga ketika dia menelpon ke rumah yang menerima adalah kekasihnya yang
sudah tua
[13] Bahasa Perancis: "Anda dari
Vietnam?"
[14] Waniktio, kependekan dari warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa. Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya
Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang
diterbitkan ulang oleh Garba Ludaya, Jakarta, 1998