Minggu, 06 Januari 2019

PANGGIL AKU: PHENG HWA



KAJIAN CERITA PENDEK :


PANGGIL AKU: PHENG HWA

Karya : Veven Sp Wardhana

Oleh
AGUS HERYANA


Teks:

SEJARAH telah menyeretku menjadi bunglon: cepat berganti nama begitu berpindah tempat hinggap. Ada saatnya kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, ada masanya kusebutkan namaku sebagai Effendi Wardhana, sebuah nama sebagaimana tertulis di KTP, atau menurut istilah kami sering disebut sebagai nama pemberian negara.
Karena aku dan keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara komunitas waniktio[1] tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.
Lama-lama, bukan hanya pada kantor resmi itu harus kusebutkan nama KTP itu. Pada kawan sekolah lanjutan di kota kabupaten, pada rekan kuliah di Yogya, pada sesama karyawan di perusahaan tempatku bekerja di Jakarta pun nama yang sama dengan yang di KTP itulah yang kuperkenalkan. Lalu, aka pun kemudian jadi terbiasa dengan nama Effendi Wardhana, sementara kalau ada yang memanggilku Pheng Hwa, bahkan dulu terkadang singkek [2] kuping jadi mendadak gatal.
Di kemudian hari, barangkali juga karena aku sudah kian jarang kontak dengan keluarga karena berbagai alasan, kesadaranku bahwa aku adalah waniktio menjadi semakin mengabur. Justru istrikulah, asal Manado, yang kerap disangka kawan-kawan di Jakarta sebagai Tionghoa.
Lalu, ketika perusahaan tempatku bekerja dianggap bermasalah dan kemudian susunan manajerialnya direstrukturisasi, antara lain dengan memasukkan beberapa nama yang diusulkan pihak pemerintah, tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan itu, aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih mengikuti anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana istriku telah terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama di Paris, Perancis.
Di Paris, dalam sebuah pertemuan di resto milik orang Indonesia yang sudah tinggal lama di sana [3] aku ketemu bekas kawan sekolah.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.
Sejak itu, kawan-kawan di Paris mulai mernanggilku Ping ,
"Tak soal, Ping: di negeri ini, tampang kayak kamu justru lebih dihargai dibandingkan aku," kata Gus beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai dan masing-masing hendak meninggalkan resto.
Ucapan Gus tidak salah. Dalam kereta bawah tanah, kalau misalnya ada penumpang kereta yang menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka adalah: " Vous etes Vietnamese? [4]
"Karena mereka interes pada orang Vietnam? Kenapa,para Perancis itu masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-ble lainnya, yang sering salah kira terhadap kita sebagai orang Filipina?" sergahku. "Apakah dalam zaman globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih juga gemblung menganggap Bali itu ada di luar Indonesia, seperti yang digambarkan banyak wartawan Indonesia dari zaman ke zaman, dari orde ke orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon, suara Gus terasa sangat keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci kalimatnya.
Gus benar, masih ada yang tersisa sebagai rahasia yang tidak kupahami. Juga ketika aku dan istriku belanja di Tang Frere [5] kawasan Porte de Choisy, semua Cina yang kutemukan di wilayah Paris distrik 13 ini tak satu pun yang bicara dalam bahasa Mandarin. Bahkan sesama Cina pun mereka ber-parlez Francaise.[6]
 "Ni shi zhong Guoren, wei shen me bu hui shuo Huayu?"[7]  tanyaku heran.
Mereka hanya angkat bahu dan alis, sambil menatap tajam padaku lewat ekspresi yang tak kalah penuh rasa heran.
"Mais, Vous etes Chinois, n’est pas? Pourqoi Vous ne parlez pas, Chinois?" kuulangi lagi pertanyaanku dalam Perancis.
"Eh, donc?" [8] balas mereka.
Panggil Aku: Wmg Hwa     
"Eh, donc? Na shi wei shen me ne?" [9]  sergahku membalik pertanyaan mereka, dalam bahasa campur-baur.
"Asalmu dari mana sih? Kamu pakai akte kelahiran siapa?" tanya salah seorang dari mereka kemudian.
Pakai akte kelahiran siapa?
Istrikulah yang kermidiLn menerangkan. Istriku bilang, dia banyak mendapatkan informasi dari Madame Goldmann [10]. Katanya, sensus penduduk di pecinan tak pernah meninggalkan catatan yang menyatakan adanya jumlah penduduk yang berkurang, kendati ada warga yang meninggal dunia. Dulu, pernah sebuah stasiun televisi menayangkan investigasi mereka perihal misteri jumlah penduduk itu. Toh, siaran yang diniatkan sebagai serial panjang itu dihentikan di tengah jalan, tanpa ada sedikit pun penjelasan.
"Akte milik yang mati itu namanya dipakai imigran dari Cina yang eksodus karena revolusi kebudayaan," kata istriku. Diam-diam aku memuji kelincahan istriku dalam mendapat dan mengumpulkan informasi.
Salah satu kelihaian istriku lainnya, dengan cepat pula dia mampu membedakan taste antara riz blanc Vietnam dari riz blanc [11] Thailand, yang berasnya dua-duanya bisa dibeli di pecinan atau di pasar swalayan dekat gereja Orly. Tapi, ketajaman lidah kuliner itu bukan diperolehnya dari Nyonya Goldmann. Entah dari siapa. Yang jelas, sesekali dia menyebut-nyebut seorang kawan studinya yang tinggal di sebuah apartemen. di Orly. Kawannya yang juga asal Indonesia ini, menurut penilaian istriku, agak enggan kumpul-kumpul dengan sesama warga Indonesia lainnya.
"Dia ipar ekonom Indonesia yang kerja untuk konglomerat," komentar istriku.
***
PHENG Hwa, memang namaku. Namun, saat aku bertemu dengan ipar ekonom yang disebut-sebut istriku itu, yang kusebutkan justru nama pemberian negara itu. Waktu itu, ipar itusedang mengadakan nama acara syukuran atas kelahiran anak pertamanya, yang sudah sangat lama mereka dambakan kelahirannya. Dalam acara itu, tetangga kiri kanan di apartemen di selatan Paris itu juga diundang. Jadinya, ada juga satu-dua orang Perancis, Aljazair, Maroko, dan Italia.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari Malaya?" tanya seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang Anda maksud adalah Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran.
Tamu lain, orang Aljazair, kemudian bicara panjang lebar mengenai revolusi Iran. Sementara warga asal Maroko kemudian menghadiahi kami sebotol sambal bikinannya. Dari situ aku dan  istriku kemudian bisa membedakan rasa antara sambal Maroko  dibandingkan sambal Aljazair.
***
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak.
Aku tak lagi menggubris aku akan dipanggil dengan nama apa, toh, aku sudah tidak lagi merasa ngumpet —entah dari apa— jika harus menyebutkan nama pemberian negara itu. Juga aku tak perlu merasa khawatir --entah karena apa— jika kemudian ada yang memanggilku pakai nama waniktio itu.
Aku merasa baru terlahir kembali.
Dengan perasaan plong macam itulah aku kini pulang kembali ke Tanah Air, ke Jakarta, menyusul istriku yang sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya.
Saat mendarat di Cengkareng, hari sudah hampir pagi.
Menjelang melewati meja pemeriksaan paspor, aku mencium gelagat aneh. Entah apa. Petugas imigrasi yang memeriksa paspor pun perlu menatapku dengan tajam, sambil bercampur rasa penasaran. Entah pula karena apa. Sambil menunggu bagasi, aku mencari telepon umum dan menelepon ke rumah, mengabarkan pada istriku bahwa aku sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Di seberang tak ada yang mengangkat telepon. Kuulang lagi menelepon rumah dengan nomor satunya. Tetap saja tak ada yang mengangkat di seberang sana.
Sabuk bagasi terus berputar dan satu persatu tas mulai diturunkan. Kucoba kuulang menelepon. Hampa.
Setelah kuambil beberapa tasku dan kutumpuk di atas troli, aku beranjak menuju jalan keluar.
"Ada keluarga yang menjemput?" tanya petugas di pintu keluar sambil mengambil tiket bagasiku. Aku tak sempat menjawabnya karena mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu. Sama sekali aku tak menemukan istriku atau keluarga yang lain. Yang kulihat adalah banyaknya orang berdesak-desak tidur di sembarang tempat.Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau Gambir?
Kucoba lagi menelepon ke rumah. Yang terdengar tetap nada sambung, tapi tetap juga di seberang sana tak ada yang mengangkatnva.
Berulang-idang kucoba lagi menelepon lewat telepon umum di sebelahnya, di sebelahnya lagi, di sebelahnya lagi. Tetap tak ada yang mengangkat.
Tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya. Tak ada mobil lalu-lalang di jalanan seberang. Aku makin merasakan bahwa aku sedang tidak berada di wilayah bandara.
Ternyata, bukan hanya aku yang gagal mengontak telepon ke rumah. Para penelepon lainnya juga mengeluhkan hal yang sama: jika tidak ada yang mengangkat, justru telepon di seberang sedang on-line.
Diam-diam aku teringat pada film The Philadelphia Experiment[12]  yang pernah kutonton entah berapa tahun lewat. Buru-buru kucari seorang petugas.
"Tahun berapa sekarang ini?" tanyaku pada seorang petugas. Tampaknya, pertanyaanku dianggap ganjil. Tahun berapa?
Pastilah petugas itu menganggap aku terguncang oleh jetlag yang sangat luar biasa.
"Sekarang tanggal 15 Mei," jawabnya menegas-negaskan, seolah sekalian meralat pertanyaanku.
"Ya, tapi tahun berapa?" sergahku. Dan bukan hanya petuga itu yang kini menunjukkan raut wajah penuh rasa heran. Orang-orang di sekeliling yang kebetulan mendengar pertanyaanku yang tampaknya cukup keras itu bahkan, menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting.
"Tahun berapa sekarang?" tanyaku pada orang di sampingku Raut muka yang kutanya itu mengkerut. Aku tafsirkan dia sedang bertanya mengenai diriku.
"Panggil saja nama saya: Pheng Hwa. Saya benar-benar tidal bertanya soal jam, hari, atau tanggal. Tapi, tahun! Tahun berapi sekarang?"*


* Porte de Choisy, September 1995; Utan Kayu, September 1998



ANALISIS


Pengantar

   Cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa berkisah tentang problematika warga keturunan Tionghoa (waniktio) di negri yang berbeda. Pertama di negri Indonesia, Jakarta dan kedua di negri Perancis, Paris. Perbedaan cara pandang yang disebabkan latar belakang perbedaan sosial budaya ternyata memberi dampak yang berbeda pula. Bagaimana sikap dan posisi seorang waniktio, yang diperankan oleh tokoh cerita Pheng Hwa, menghadapi semua itu. Inilah inti cerita yang ingin disampaikan pengarangnya,  Veven Sp Wardhana.
Cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa sebagai karya sastra sudah sewajarnya memiliki ciri-ciri kesastraannya diantaranya adalah sifat rekaan atau fiksionalitasnya. Di samping itu sebagai teks karya sastra, ia  dibangun di atas peristiwa-peristiwa yang membentuk sebuah keutuhan kisahan. Di dalamnya pula terbangun bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan, beratutan menjalin harmoni estetik dalam kerangka menyampaikan gagasan atau ide pengarang. Oleh karena itu, guna mengetahui kandungan cerpen yang dimaksud akan dianalisis struktur yang membangun ceritanya.

1. Alur
Sebuah kisahan rekaan dibangun berdasarkan urutan-urutan peristiwa yang disusun untuk sebuah keperluan. Susunan  urutan peristiwa ini –dalam perspektif struktur cerita - menjadi tulang punggung atau kerangka bangunan sebuah cerita. Kerangka cerita  biasanya disusun dalam bentuk kausalitas yang sering dikenal dengan sebutan alur. Alur cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa  tampaknya membentuk alur linear mengingat susunan peristiwa yang terjadi di dalamnya berurutan dan bertautan antara satu dengan yang lainnya. Tak tampak adanya loncatan cerita atau mengulang cerita (kisahan sorot balik). Alur disusun mengalir sambung menyambung hingga berhenti pada satu peristiwa yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca. 

     Kisah diawali dengan memperkenalkan tokoh cerita seorang warga keturunan Tionghoa bernama Pheng Hwa  atau Ping An. Sang tokoh karena sesuatu sebab ”dipaksa” untuk berganti nama menjadi Effendi Wardhana. Selanjutnya susunan alur linear cerpen yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut.

     Pheng Hwa  atau Ping An seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa yang harus berganti nama menjadi Effendi Wardhana;
     Nama Effendi Wardhana, sebagai pemberian negara, mempermudah berbagai urusan birokrasi;
Proses waktu membuat nama Effendi Wardhana lebih dikenal dari pada Pheng Hwa  atau Ping An. Nyaris tak lagi ia dikenali lagi sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa.

     Sebuah peristiwa memaksa Effendi Wardhana berhijrah ke negri Perancis, tepatnya kota Paris.
     Pertemuan dengan kawan lama bernama Gus  mengembalikan jati dirinya sebagai Pheng Hwa  atau Ping An;
     Masyarakat Paris lebih menghargai wajah Pheng Hwa  atau Ping An dari pada ”wajah” Effendi Wardhana;
     Masyarakat Paris lebih terbuka dan tidak mempermasalahkan asal-usul seseorang.
     Ping An merasa marah kepada bangsanya sendiri, Tionghoa, yang tidak mau memperlihatkan ketionghoaannya, bahkan cenderung bersikap eklusif, tertutup.
     Pertemuan di rumah ipar ekonom dengan berbagai bangsa menyadarkan dirinya bahwa nama menunjukkan identitas seseorang
     Ping  An atau Effendi Wardhana pulang ke Indonesia dengan perasaan ”plong” , tanpa beban psikologis.
     Di Jakarta terjadi kemelut yang mengguncangkan jiwanya. Tanggal 15 Mei terjadi peristiwa ”eksodus” orang Tionghoa.
     Di tengah keputusaan, kesia-siaan dan ketidakmengertian telah memunculkan jati diri sesungguhnya; tanpa sungkan lagi ia mengaku bahwa dirinya adalah orang Tionghoa;  ”Panggil saja nama saya :  Pheng Hwa 

Dalam lingkup pengaluran, peristiwa 1,2, dan 3 merupakan lingkup pemaparan (mukadimah) awal kisah. Munculnya peristiwa baru yakni adanya restrukturisasi di perusahaan tempat bekerjanya merangsang munculnya peristiwa baru., yaitu mencari beasiswa di Paris, Perancis.
tanpa harus beralasan aku tak suka kebijakan itu, aku kemudian memilih untuk keluar perusahaan, untuk kemudian memilih mengikuti anjuran istriku untuk juga mencari beasiswa sekolah sebagaimana istriku telah terlebih dulu mendapatkannya untuk memperdalam tentang broadcasting sama-sama di Paris, Perancis.

Peristiwa 5, s.d. 9 merupakan kisahan yang berlangsung di Paris. Di sinilah tokoh cerita mengalami goncangan jiwa, krisis identitas. Pertemuan dengan kawan lama, Gus, mulai membangkitkan kenangan lamanya yang ia telah kubur dengan paksa.
"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.

Kegamangan tokoh terhadap identitasnya menjadi-jadi ketika ia dihadapkan pada komunitas bangsanya di Paris yang bersifat tertutup. Ia begitu terkejut menyaksikan warga Tionghoa di Paris tidak mau memperlihatkan jati diri sesungguhnya, bahkan menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Namun demikian, pertemuan di tempat ipar ekonom dengan berbagai suku bangsa telah menyadarkan bahwa sebuah nama ternyata mengandung sebuah identitas.
"Effendi nama. Anda?'Anda Muslim? Anda dari Malaya?" tanya seorang Perancis dan seorang Italia nyaris bersamaan
" Saya dari Indonesia. Malalaya, kalau yang Anda maksud adalah Malaysia, itu dekat sekali dengan Indonesia," aku mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran.

Alur mulai menurun seolah-olah menuju penyelesaian dengan pengakuan tokoh yang merasa plong terhadap berbagai peristiwa yang menimpanya. Peristiwa 10 sebenarnya ancang-ancang kearah alur leraian yang mengagetkan. Peristiwa baru muncul di tengah-tengah kesadaran yang pada akhirnya harus memilih sebuah identitas. 
Secara keseluruhan kisah kita dapat memahami adanya tanda 3 bintang (***)  yang ditempatkan pada akhir kisah yang dianggap selesai. Artinya, secara ringkas cerpen ini terdiri atas 3 bagian cerita  , jika tanda bintang itu dianggap sebagai batas bagian cerita . Bagian pertama dimulai dari urutan peristiwa 1 hingga 8; bagian kedua adalah urutan peristiwa ke 9; dan bagian ketiga cerita adalah peristiwa ke 10 hingga 12.

2. Tokoh dan Penokohan
Ada 6 tokoh cerita yang tercatat pada cerpen ”Panggil Aku :  Pheng Hwa”, yaitu :  (1)  Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana, (2) isteri Pheng Hwa, (3) Gus kawan lamanya, (4) ipar ekonom, (5) petugas imigrasi, (6) warga keturunan Tionghoa.  Keenam tokoh cerita ini dibedakan atas, pertama,  tokoh utama (sentral), yaitu    Pheng Hwa atau Ping An atau Effendi Wardhana. Kedua, tokoh bawahan, yaitu  isteri Pheng Hwa, Gus kawan lamanya, dan ipar ekonom. Ketiga,  tokoh figuran (pembantu) adalah petugas imigrasi dan warga keturunan Tionghoa.

Tokoh utama menjadi sentral cerita yang memiliki karakter sebagai berikut: tokoh cerita bernama Pheng Hwa atau Ping An  seorang warga keturunan Tionghoa yang kemudian berganti nama Effendi Wardhana. Ia bekerja di perusahaan swasta di bidang broadcasting, penyiaran. Pheng Hwa sifatnya tidak mau berkonfrontasi atau menentang. Ia cenderung mengalah, menghindari masalah dan  tidak mau melibatkan diri pada berbagai urusan. Akibat semua itu, ia mudah melupakan identitas dirinya bahkan sedikit oportunis, tetapi juga ia memiliki kesadaran ”nasionalisme” yang tinggi. Ketidaksukaan dipanggil singkek dan kemengkalan kepada kaumnya di Paris serta kedongkolan kepada bule-bule merupakan cerminan nasionaismenya. 

Karakter tokoh bawahan yaitu  isteri Pheng Hwa, Gus kawan lamanya, dan ipar ekonom dapat dikemukakan sebagai berikut:
Isteri Pheng Hwa digambarkan sebagai wanita Menado yang memiliki wajah lebih Tionghoa dari pada Pheng Hwa. Selama perjalanan hidupnya ia tidak pernah menemui masalah dalam bersosialisasi-interaksi sosial. Padahal secara genetik ia menunjukkan wajah Tionghoa. Sifatnya digambarkan sebagai wanita yang beripikiran maju ke depan (futuris) yang menyarankan suaminya, Pheng Hwa untuk mencari beasiswa ke Paris. Ia pun bersifat supel, pandai bergaul, lincah memperoleh informasi serta cepat dan mudah beradaptasi.

Gus, kawan lama Pheng Hwa adalah seorang pribumi yang bersifat jujur. Pangilan Ping An sebagai nama panggilan untuk kawan yang sudah akrab diucapkan tanpa disertai penghinaan atau perasaan merendahkan. Apa adanya dan perhatian (interes) kepada orang lain.
Ipar ekonom digambarkan seorang yang tidak mau berkumpul dengan orang kebanyakan. Ia lebih menyenangi memencilkan diri; asik dengan dunianya sendiri. Kalaupun bergaul, ia lebih suka berhubungan dengan orang dekat dan orang-orang asing berkelas.

Tokoh figuran atau tokoh pembantu adalah petugas imigrasi dan warga keturunan Tionghoa. Petugas imigrasi digambarkan sebagai petugas yang selalu curiga kepada orang keturunan; sedangkan tokoh figuran warga keturunan Tionghoa digambarkan sebagai kelompok minoritas yang tidak mau membuka diri kepada bangsa lain.


3. Tema
Tema cerpen dapat disimpulkan pada pengelompokan isotopi-isotopi berikut.

3.1 Isotop Manusia


kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, namaku sebagai Effendi Wardhana, KTP, kami, nama pemberian negara, aku, keluargaku, komunitas waniktio, orang, Pheng Hwa, atau Ping An, kantor polsek, instansi pemerintah, kawan sekolah, rekan kuliah, sesama karyawan, Effendi Wardhana, singkek, istrikulah, Tionghoa., pihak pemerintah, kebijakan, beasiswa, broadcasting, orang Indonesia, pertemuan, Gus, nama kawanku, acara kumpul-kumpul, memanggilku, ucapan, penumpang, menyapaku, pertanyaan, mereka, Vietnamese, orang Vietnam, bule-bule, orang Filipina, wartawan, sergahku, ingin tahu., terbahak, belanja, semua Cina, bicara, bahasa Mandarin, tanyaku, angkat bahu dan alis, menatap tajam, bahasa campur-baur, akte kelahiran, menerangkan, informasi, Madame Goldman, katanya, sensus penduduk, catatan, warga, meninggal dunia, menayangkan, investigasi, mati, imigran, eksodus, revolusi kebudayaan, penjelasan, memuji, mengumpulkan, ketajaman lidah kuliner, menyebut-nyebut, ipar ekonom Indonesia, konglomerat, komentar, bertemu, acara syukuran, kelahiran anak, tetangga, diundang, anda, Muslim, Malaya, seorang, saya, kesabaran, tamu , bicara, revolusi Iran, menghadiahi, membedakan rasa, orang Aljazair, warga asal Maroko, menyelinap, menggubris, dipanggil, ngumpet, menyebutkan, khawatir, terlahir, perasaan, pulang, mendarat, pemeriksaan paspor, petugas imigrasi, memeriksa, menatapku, penasaran, menelepon, mengabarkan, mengangkat, para penjemput, kulihat, berdesak-desak, tidur, terdengar, sopir taksi, menawarkan jasanya, mengontak, penelepon, mengeluhkan, menegas-negaskan, meralat, menampilkan ekspresi, orang sinting,

3.2 Isotop Tempat
kota kawedanaan, sekolah, kabupaten, Yogya, di perusahaan tempatku, Jakarta, Manado, Paris, Perancis, resto, tinggal lama di sana, di negeri ini, kereta bawah tanah, Bali, Indonesia, Tang Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, stasiun televisi, pasar swalayan dekat gereja Orly, apartemen. di Orly, Malaysia, negeri asing, tanah air, Cengkareng, telepon umum, rumah, di seberang sana, meja pemeriksaan paspor, menuju jalan keluar, banyaknya orang berdesak-desak tidur di sembarang tempat, bandara, stasiun kereta api di Senen atau Gambir, Tak ada mobil lalu-lalang di jalanan seberang, Bandara Soekarno-Hatta, serambi


3.3 Isotop Waktu
sejarah, lama-lama, lalu, kemudian hari, dulu, kian jarang kontak, sudah berapa lama kau tinggal di sini?, saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten, sejak itu, beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai, zaman ke zaman, dari orde ke orde, sesekali, waktu itu, sedang, sudah sangat lama, selama ini, baru terlahir kembali, sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya, saat, hari sudah hampir pagi, menjelang, sambil menunggu, setelah, suasana bandara, entah berapa tahun lewat, tahun berapa sekarang ini?" sekarang tanggal 15 mei, saya benar-benar tidak bertanya soal jam, hari, atau tanggal. tapi, tahun! tahun berapi sekarang?

3.4 Isotop Alam
Bunglon, riz blanc Vietnam dari riz blanc (nasi putih)  Thailand, beras,

3.5 Isotop Gerakan
menyeretku, berpindah tempat, menyebutkan, kontak, susunan manajerialnya direstrukturisasi, pertemuan, ketemu, menyergah, memanggilku, acara kumpul-kumpul, menyapaku, mengulang-ulang, terbahak, suara gus terasa sangat keras dan membahana, aku dan istriku belanja di tang frere, angkat bahu dan alis, menatap tajam, menerangkan, mendapatkan informasi, sensus penduduk, warga yang meninggal dunia, menayangkan investigasi, siaran, eksodus, membedakan taste, ketajaman lidah kuliner, menyebut-nyebut seorang, disebut-sebut, mencoba menerangkan dengan penuh kesabaran, bicara panjang lebar, revolusi iran, menghadiahi kami sebotol sambal, diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak, perasaan plong, pulang kembali, menyusul istriku, meja pemeriksaan paspor , mencium gelagat aneh, mengabarkan pada istriku, kuulang lagi menelepon rumah, sabuk bagasi terus berputar, diturunkan, beranjak menuju jalan keluar, sambil mengambil tiket bagasiku, mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu, berulang-ulang kucoba lagi menelepon, tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya, buru-buru kucari seorang petugas, pertanyaanku dianggap ganjil, terguncang oleh jetlag, jawabnya menegas-negaskan, menunjukkan raut wajah penuh rasa heran, menampilkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting, raut muka yang kutanya itu mengkerut

Isotop manusia dan isotop gerakan menunjukkan kuantitas besar. Artinya tema cerpen ini berkaitan dengan tema kemanusiaan. Tema utama adalah mengenai pencarian jati diri. Jati diri manusia tidak bisa dihilangkan atau diganti dengan baju lain. Kalaupun hal itu terjadi, maka yang muncul adalah kebohongan atau kemunafikan yang berakibat pada perilaku seperi bunglon. Hidup dengan identitas orang lain. 

Tema kedua adalah negara tidak perlu memaksakan kehendak untuk ”menindas” kaum minoritas. Atas nama negara seorang warga harus hidup dengan budaya orang lain yang tidak dikenalnya. Ada baiknya belajar pada negara Perancis yang tidak ikut campur mengurusi perbedaan ”ras”warganya. Demikian pula warganya yang selalu  bersikap bebas, terbuka kepada setiap bangsa apa pun. sekalipun warga tionghoa bersikap tertutup.
Tema ketiga adalah kesadaran atas jati diri seseorang harus ditunjang oleh situasi dan kondisi yang kondusif (mendukung) ke arah pencapaian itu. Pengakuan , penghargaan, serta perhatian kepada seseorang akan membangun rasa kepemilikan yang pada akhirnya bermuara pada nasionalisme ; kecintaan kepada tanah air.

4. Latar
Secara unum latar cerpen dibagun atas 2 hal, yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik yaitu tempat peristiwa berlangsung ; dalam hal ini tercatat dua kota besar, yaitu Jakarta dan Paris, Perancis. Lebih rinci lagi tempat kisahan di Jakarta adalah Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta perusahaan. Paris : Tang Frere, kawasan Porte de Choisy, pecinan, pasar swalayan dekat gereja Orly, apartemen. di Orly, Malaysia

Kota Jakarta dalam realitasnya adalah ibukota negara Indonesia yang memiliki beragam corak kebudayaan dan  suku bangsa. Di sini pun berlangsung berbagai aktivitas manusia berskala nasional dan internasional; pusat pemerintahan, ekonomi, politik (kekuasaan). Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah  adanya multikultural dan multietnik  yang berimbas pada persaingan hidup yang keras. Penduduk Jakarta  digambarkan pada cerpen ini sebagai kota yang jauh dari keramahan , tempat penindasan kaum minoritas (waniktio). Perhatikan peristiwa alih kekuasaan perusahaan, petugas imigrasi dan kesemrawutan di bandara yang seperti stasiun Senen atau Gambir. Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau Gambir?

Kondisi ibukota Perancis, Paris sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di situ pun masyarakatanya multikultural dan multietnik, tetapi masih memiliki keramahan dan tidak menjadi problem. Tegur sapa   terhadap warga masyarakat dunia dilakukan dengan tanpa disertai muatan-muatan tertentu.
Ucapan Gus tidak salah. Dalam kereta bawah tanah, kalau misalnya ada penumpang kereta yang menyapaku, rata-rata pertanyaan mereka adalah: " Vous etes Vietnamese? [13]

Keterbukaan dan keberterimaan masyarakat Perancis atas perbedaan yang dimiliki setiap warga (dunia) kemungkinan menjadi penyebab tidak adanya konplik sosial, konplik identitas bangsa. Saling memahami dan saling menghargai sesama yang jelas-jelas berbeda latar belakangnya justru menjadi wahana katarsis (penyucian jiwa) seseorang.
DI negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam menyelinap, dan mengendap dalam benak.

Sedangkan latar sosial adalah adanya konsep pembauran warga Tionghoa dengan pribumi serta peristiwa kerusuhan sosial pada tanggal 15 Mei (1998) yang telah membuat penderitaan watiknio.
Kelompok etnis Cina dalam perspektif sejarah-sosial menunjukkan kedudukan yang signifikan dengan kekuasaan. Mereka sering berada di kelompok kedua, setelah kaum Eropa (penjajah) dan berada  di atas kelompok pribumi (bangsa Indonesia). Kedekatan dengan pemegang kekuasaan menjadikan mereka mudah memperoleh berbagai fasilitas, terutama dalam hubungannya dengan perekonomian. Oleh karena itulah jalur perekonomian sering dikuasai oleh mereka. Dampaknya adalah timbul masalah sosial yang berlarut-larut, yakni kecemburuan sosial dan ketimpangan perolehan pendapatan yang berbanding lurus dengan sebutan kaya – miskin. Orang kaya adalah Cina dan orang miskin adalah bangsa Indonesia. Apalagi peristiwa pemberontakan PKI mengarahkan pada keterlibatan negara Cina di dalamnya. Kondisi seperti ini menyebabkan bagai bara dalam sekam; setiap saat akan muncul dan membakar yang berada di atasnya. Setiap masalah yang menimpa orang Cina akan berubah menjadi sebuah kerusuhan  dan penderitaan bagi mereka. 

Banyak kasus yang menimpa orang Cina atau Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia, menimbulkan kekhawatiran lebih besar lagi. Guna menanggulanginya pemerintah “meluncurkan” program pembauran melalui “nasionalisasi nama”. Pembauran dimulai dengan penggantian nama Cina / Tionghoa ke dalam nama daerah sekaligus pencekalan atau pelarangan pelaksanaan budaya-budaya atau tradisi-tradisi leluhur Tionghoa. Oleh karena itulah, kita sering terkecoh dan mungkin sedikit senyum sinis ketika disebut nama Sastra Darmakusumah, tetapi yang  muncul adalah seorang bermata sipit yang tidak mengerti bahasa daerah. 

Peristiwa sejarah-sosial di atas inilah yang menjadi sebagian latar belakang cerpen Panggil Aku: Pheng Hwa. Pheng Hwa adalah orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di sebuah kabupaten. Persoalan politik dan sosial telah mengubah jati dirinya menjadi orang lain. Bukanlah keinginannya ia menjadi seorang Tionghoa dan juga bukan keinginannya ia harus mengubah namanya menjadi nama pribumi : Effendi Wardhana. Bagaimana ia menyandang dua nama yang sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya, yakni dua kebudayaan yang berbeda. Ia seorang Tionghoa yang nenek moyangnya nun jauh di sana di negeri Tiongkok  sementara dalam kehidupan sehari-harinya ia hidup di bumi Nusantara  sebagai negara kelahiran keduanya.

 
5. Sudut Pandang yang Digunakan
Pencerita menyampaikan kisahannya dari sudut pandangnya sendiri yaitu  sudut pandang orang pertama protagonis. Penggunaan kata ganti orang pertama :  akuan;  melibatkan pembaca untuk turut serta masuk ke dalam dunia tokoh protagonis. Jadi, cerita lebih bersifat subjektif dan emosional. Tokoh aku mengurai kegelisahan,  ketidakberdayaan, bahkan kemengkalannya melalui   paparan dan dialog. Berikut contoh paparan :

Karena aku dan keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara komunitas waniktio[14] tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.

Sedangkan bentuk dialog dapat dirunut pada percakapan Peng Hwa dengan Gus, kawan lamanya. 

"Karena mereka interes pada orang Vietnam? Kenapa, para Perancis itu masih juga mengulang-ulang kebebalan bule-bule lainnya, yang sering salah kira terhadap kita sebagai orang Filipina?" sergahku. "Apakah dalam zaman globalisasi dan gombalisasi ini mereka masih juga gemblung menganggap Bali itu ada di luar Indonesia, seperti yang digambarkan banyak wartawan Indonesia dari zaman ke zaman, dari orde ke orde?" sergahku cenderung dalam nada sengit ketimbang sekadar ingin tahu.
Gus hanya terbahak. Sekalipun hanya lewat telepon, suara Gus terasa sangat keras dan membahana.
"Itu hanya salah satu, Ping. Masih banyak yang tak akan kamu pahami," sambungnya tanpa merinci kalimatnya.


Kehidupan yang menurutnya tidak normal itu ia jalani dengan “kepasrahan semu” sehingga dalam kurun waktu tertentu keterpaksaan itu berubah menjadi kebiasaan. Effendi Wardhana telah menjelma menjadi seorang Indonesia. Orang lebih mengenal nama itu daripada Pheng Hwa  atau Ping An.
Sebuah peristiwa memaksa Effendi Wardhana hijrah ke negeri Perancis, tepatnya di Paris. Di kota ini ia dihadapkan pada realitas yang berbeda dengan negri asalnya, Indonesia. Suka atau tidak nama Pheng Hwa  atau Ping An kembali bergema, bahkan nama itu lebih dihargai, walaupun terasa asing ditelinganya. Ia merasakan nama   Ping An itu mempunyai nuansa berbeda. 

"He, Ping An! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanyanya menyergah begitu dia mendapatkan aku dan istriku. Tidak hanya itu. Gus, nama kawanku itu, kemudian bahkan memanggilku dengan sebutan singkek. Sekalipun kupingku mendadak terasa berdengung, toh kurasakan ada nuansa yang berbeda dibandingkan saat dia memanggilku dengan sebutan yang sama belasan tahun yang lampau semasa masih di sekolah di ibukota kabupaten.

Sejak itu, kawan-kawan di Paris mulai memanggilku Ping , "Tak soal, Ping: di negeri ini, tampang kayak kamu justru lebih dihargai dibandingkan aku," kata Gus beberapa saat menjelang acara kumpul-kumpul itu selesai dan masing-masing hendak meninggalkan resto.






[1] Waniktio, kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang diterbitkan ulang oleh Garba Ludaya, Jakarta, 1998
[2] Singkek, sebutan untuk Tionghoa totok
[3] Ada beberapa resto milik orang-orang Indonesia yang "terbuang", karena alasan politik. Salah satu diantaranya terletak di Rue Vaugirard sebuah jalan terpanjang di Paris.

[4] Bahasa Perancis: "Anda dari Vietnam?"
[5] Tang Frere, nama pasar swalayan terbesar di Eropa (Barat)
[6] Bercakap dalam bahasa Perancis
[7] Bahasa mandarin: "Bukankah Anda dari Cina? Kenapa Anda tidak ngomong dalam bahasa Cina?"
[8] Artinya sama dengan bahasa Inggris: "So What?"
[9] "Lho kok'memangnya kenapa sih?"
[10] Madame: Nyonya Lucien Goldman, asal Hungaria, "lari" ke Perancis dan kemudian menjadi ilmuwan strukturalisme-genetik, menikah dua kal
[11] Riz blanc: nasi putih
[12] Film produksi 1984 ini berkisah perihal seorang tokoh dalam Piala Dunia ini yang terlontar menembus ruang waktu dan terdampar ke tahun 1984; sehingga ketika dia menelpon ke rumah yang menerima adalah kekasihnya yang sudah tua
[13] Bahasa Perancis: "Anda dari Vietnam?"
[14] Waniktio, kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Istilah ini antara lain ada dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia, PT Bintang Press, Jakarta, 1960 yang diterbitkan ulang oleh Garba Ludaya, Jakarta, 1998

Selasa, 11 September 2018

Nilai Budaya Permainan Tradisional Anak

Oleh Agus Heryana

Hayang nyaho di pamaceuh ma, ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, bangbarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun lembur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; sing sawatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.


Bila ingin tahu permainan, ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, bangbarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun lembur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; segala macam permainan tanyalah empul


(Sanghiyang Siksakandang Karesian /1440 Saka /1518 Masehi)

Dunia anak adalah dunia bermain
Manusia dalam mencapai kedewasaan baik lahiriah maupun batiniah selalu melewati fase-fase tertentu. Fase-fase ini biasa dikaitkan dengan pertumbuhan usia seorang manusia. Oleh karena itulah, secara umum kita sering mendengar fase atau masa bayi dan balita, anak, remaja,dewasa dan orang tua. Setiap fase memerlukan kebutuhan jasmani dan rohani yang saling berkaitan dan selalu tumbuh sesuai dengan peruntukannya (fitrahnya). Salah satu fase yang menjadi sorotan dalam kesempatan ini adalah fase anak-anak, terutama anak usia sekolah dasar, yaitu kelas 1 (usia 7 tahun) s.d. kelas 6 (usia 13 tahun). Pada fase ini aktivitas utama yang muncul dan berkembang adalah bermain.


Alasdair Roberts (dalam Bishop, 2005:14) menyodorkan istilah “masa kanak-kanak pertengahan”, yaitu periode di antara tahun-tahun pertama masa kanak-kanak dan masa remaja. Menurutnya bermain adalah inti dari masa kanak-kanak pertenghan. Bermain merupakan sarana mengintegrasikan dunia anak, baik di dalam mau pun di luar. Bermain merupakan media untuk membangun pertemanan dan pertahanan terhadap musuh; bahasa dan ritual bermain memberikan bentuk dialog kolaboratif yang membedakan “kita” dengan “mereka”. Anak-anak dapat secara aman bereksplorasi dan berskperimen karena mereka merasa aman dan percaya di arena bermain. Bermain terlepas dari realitas sehari-hari, sehingga bermain memberi anak-anak rasa untuk mengendalikan kesibukan sehari-hari mereka; bermain sudah merupakan kebutuhan utama. Anak tanpa bermain patut dicurigai mengidap sesuatu penyakit atau sekurang-kurangnya memiliki masalah dengan lingkungan sekitar, terutama dengan teman-temannya. Jadi, boleh dikatakan aktivitas anak-anak dalam keseharian tidak terlepas dari "acara bermain". Bagi mereka, anak-anak, bermain merupakan "jadwal kerjanya". Kadang-kadang pada saat belajar pun seringkali disertai dengan bermain yang membuat jengkel atau marah guru-gurunya. Lebih dari itu, bagi anak-anak tertentu, bermain pun akan dilakukannya sendiri tanpa mengenal batas waktu. Kondisi anak seperti itu tentunya perlu disadari oleh para orang dewasa agar tidak terjadi ”pemasungan” kreatifitas dunia anak ketika bermain.

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak tampaknya bermain tidk boleh disepelekan. Seorang ahli hikmah, Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin yang dikutip oleh Syarifuddin (2004:64) memberi pandangan ”Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain; melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini”.

Kata ”bermain” adalah bentuk kata kerja berasal dari kata dasar main. Kata main itu sendiri berarti melakukan aktivitas yang menyenangkan hati atau menimbulkan kegembiraan. Kata benda dari bermain adalah permainan atau mainan. Arti permainan lebih mengacu pada suatu hal atau keadaan sedangkan mainan mengacu pada benda atau wujud konkret (alat) bermain.

Danandjaja (1986:171) memberikan batasan permainan anak-anak ke dalam dua jenis yaitu permainan bermain (play) dan permainan bertanding (game). Pengertian permainan bermain (play) bersifat mengisi waktu senggang atau rekreasi, dan dibandingkannya dengan permainan bertanding (game) yang hampir-hampir tidak mempunyai sifat seperti itu. Beberapa permainan tradisional (Jawa Barat) dapat dikelompokkan pada kedua jenis tersebut adalah sebagai berikut.:


  • Permainan bermain (play), yaitu : Ayang-ayang Gung, Ambil-ambilan, eundeuk-eundeukan, oray-orayan, si jendil, sur-ser, jung jae, ngarojok ole-olean, oyong-oyong bangkong, tongtolang nangka, suling aing, leuleui leuleuyang, pacublek-cublek uang, pacici-cici putri, punten mangga, slep dur, hap-hap, papatong eunteup, tokecang, milang kadaharan, meuncit reungit, milang jawa, moncor pager, nanangkaan, oet-oetan, ngambat papatong, ngala hui, paciwit-ciwit lutung, punten mangga, pom pilep, perepet jengkol, sasalimpetan, salam sereh, tong maliatong, trang trang kolentrang, wek wek dor, bancakan, ucing-ucingan, susuungan, kali-kali jahe, kukudaan, wawayangan, serok, maen karet, momobilan, kakatepelan, barongsay, papasakan, kukuehan, ucing peungpeun, bebedilan, tatarompetan, totoralakan (Soepandi,1985, Atmadibrata,1980, Intani dkk,2000 )
  • Permainan bertanding (game), yaitu: galah asin (gobag), egrang (jajangkungan), sorodot gaplok (dampu), maen kaleci, pris-prisan, maen bal, gatrik, kasti, galah jidar, dam-daman, lelempengan, mamaungan, ulin panggal, sisimeutan, ngadu muncang, hahayaman (kokotokan), aarcaan, bandringan, bubuyungan, boy-boyan, langlayangan, beklen, congkak, (Atmadibrata,1980, Intani dkk,2000)


Bentuk-bentuk permainan anak di atas sebagian besar nyaris tidak dikenal lagi, terutama oleh anak-anak yang tinggal di perkotaan (kota-kota besar). Dalam hal ini era globalisasi dan kemajuan teknologi sering dituding menjadi penyebab semuanya itu. Dalam hal ini teknologi dan globalisasi dipandang negatif. Ironisnya manusia tidak dapat melepaskan atau mengisolir diri dari situasi dan kondisi demikian. Mengisolir diri berarti kita menjadi bangsa "primitif" yang anti kemajuan pada abad moderen, tetapi "membuka diri" pun bukan tanpa risiko. Tercerabutnya nilai-nilai budaya daerah sebagai ciri kepribadian bangsa bukan suatu hal yang mustahil.

Betulkah permainan tradisional itu bermakna?
Pemaknaan atas benda, peristiwa, atau semua yang maujud di muka bumi ini tidak bisa lepas dari berbagai unsur. Unsur yang dimaksud pun kadang-kadang sangat bergantung pada benda yang akan dimaknainya. Oleh karena itu mudah dipahami apabila banyak teori dikemukakan para ahli dibidangnya masing-masing dalam kerangka memahami fenomena-fenomena (gejala) yang terjadi di dunia ini.

Pemaknaan dalam konteks budaya sering dipahami dengan sebutan lain yaitu nilai budaya. Nilai adalah "sesuatu yang berharga". Sesuatu yang bermanfaat dan diakui secara universal oleh manusia yang memiliki budayanya. Memang, harus diakui sebuah nilai (budaya) adalah bersifat relatif, berubah-ubah sesuai dengan perkembangan budaya suatu bangsa. Oleh karena itu, memahami nilai budaya yang terkandung dalam konteks budaya tertentu harus pula memahami berbagai unsur kebudayaan yang melingkupinya.

Seorang antropolog, R. Firth, (1964:42-45) menyatakan bahwa faktor alam sekeliling memberi pengaruh besar pada diri manusia. Menurutnya ada empat faktor lingkungan alam yang berpengaruh pada diri manusia. Pertama adalah keadaan alam sekeliling memberikan batas-batas yang luas bagi kemungkinan-kemungkinan hidup manusia; kedua, tiap-tiap keadaan sekeliling mempunyai coraknya sendiri-sendiri; ketiga, keadaan alam memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan manusia, tetapi juga menyediakan bahan-bahan yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan, Pernyataan kesimpulan R. Firth tersebut setidaknya memberikan jalan pada penganalisisan budaya. Sekurang-kurangnya kata kunci telah kita peroleh, yakni alam lingkungan manusia berpengaruh besar pada munculnya permainan tradisional anak.

Selanjutnya, guna mengungkap kandungan nilai pada permainan tradisional anak perlu dikemukakan acuan teoritisnya. Acuan teoritis yang dimaksud adalah apabila kita mengacu kepada kerangka berfikir sebuah karya "diciptakan" dengan maksud dan tujuan tertentu, yang oleh pembuatnya disembunyikan atau disamarkan dalam wujud karya, maka dengan analogi yang sama kita dapat mengetahui gagasan atau ide yang terkandung di dalam sebuah permainan tradisional anak. Sebuah permainan tradisional anak diciptakan dengan tidak percuma. Sepatah atau dua patah kata, dalam bentuk reportoar (nyanyian) akan bermakna. Hanya masalahnya adalah kadar pemahaman dan perangkat seseorang di dalam membedah karya tersebut. Sebagai contoh adalah nyanyian (reportoar) yang dinyanyikan saat anak-anak bermain. Nyanyian ini dikenal dengan sebutan kakawihan atau Nyanyian dolanan anak. Dalam perspektif pemaknaan, kakawihan bukanlah sekedar nyanyian tanpa maksud dan tanpa makna, sekurang- kurangnya di dalamnya terkandung ekspresi emosi anak-anak yang terefleksikan pada lagu-lagunya. Mungkinkah nyanyian merupakan media belaka sebagai alat penyampai sesuatu maksud yang dipergunakan "seseorang"? Ataukah murni dorongan nurani sang anak di dalam menyikapi alam sekelilingnya?

Pada saat ini kita belum menemukan pengarang seperti Hasan Mustapa yang mempergunakan kaulinan barudak Sunda melalui kakawihannya itu untuk mengupas hal-hal yang bersifat keagamaan. Buku Bale Bandung yang merupakan kumpulan surat-surat antara Hasan Mustapa dengan Kiai Kurdi merupakan bukti nyata bagaimana kakawihan dijadikan media menguraikan lapangan tauhid.

Upaya pemaknaan : sebuah sumbang saran
Pengkajian nilai budaya yang terkandung dalam sebuah produk budaya bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang sulit dipelajari. Kalaulah kita meletakan nilai budaya sebagai inti dari sebuah produk, maka nilai budaya itu dibungkus dengan berbagai ”aksesori”, hiasan, untuk menyamarkan maksud sesungguhnya. Di samping itu, perlu ditegaskan hal-hal yang terjadi ”peristiwa” di luar benda budaya, seperti: latar belakang atau konteks sosial budaya. - harus pula menjadi pertimbangan dalam memahami sebuah nilai budaya.

Permainan tradisional anak adalah produk budaya suatu bangsa, dalam hal ini masyarakat Sunda. Secara teoritis harus mempunyai nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk keberlangsungan tatanan kehidupan, khususnya orang Sunda. Guna memahami nilai budaya yang terkandung di dalamnya mau tidak mau kita harus mengkaji setiap unsur permainan tradisional anak.

Di dalam permainan bermain (play) dan permainan pertandingan (game), sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan, terkandung media lain, yaitu alat dan nyanyian. Alat permainan sering kali disebut cocooan dan nyanyian (reportoar) disebut kakawihan. Cocooan diperoleh dengan cara membuat sendiri berbahankan barang bekas atau memanfaatkan alam lingkungannya. Sedangkan kakawihan merupakan tradisi lisan yang diturunkan melalui teman sepermainannya. Oleh karena itu penelaahan pada sejumlah bentuk permainan tradisional anak diperoleh unsur-unsur sebagai berikut:
1. nama permainan
2. bahan 
3. teknik pembuatan
4. cara bermain
5. nyanyian / dialog
6. fungsi

- Nama permainan 

Nama permainan menjadi bermakna dalam hubungannya dengan identitas sebuah bangsa. Dalam cakupan kecil, nama permainan menunjukkan asal permainan yang membedakan satu tempat dengan tempat lain. Di samping itu, nama permainan pun tidak menutup kemungkinan menjadi pembuka makna lebih dalam melalui penggunaan teori-teori tertentu, seperti: struktural dan atau semiotik (teori tanda). Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed,2008:3)

- Bahan 

Boleh dikatakan sebagian besar bahan untuk pembuatan alat bermain (Sunda: cocooan) pada permainan tradisional anak menggunakan bahan yang murah dan mudah diperoleh. Murah dan mudah diperoleh karena bahan tersebut berasal dari barang-barang bekas atau sampah (bersih) atau memanfaatkan tumbuh-tumbuhan alami yang ada di lingkungan sekitar. Sebagai contoh adalah membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali dan karet sandal bekas, membuat oet-oetan dari jerami padi, totorolakan dari pelepah pisang, maen karet atau sapintrong dari karet gelang yang disambung-sambung, wawayangan dari daun singkong atau padi dsb.

Penggunaan dan pemanfaatan bahan yang murah dan mudah diperoleh ini secara tidak langsung memberikan pelajaran agar anak-anak dapat berlaku efisien dan efektif dalam menghadapi persoalan hidup dikemudian hari. Dalam hal hubungannya dengan lingkungan alam diharapkan bisa lebih arif dengan pemanfaatannya yang lebih jelas peruntukannya. Dan satu hal lagi yang penting adalah menjaga ketersediaan ”bahan baku” demi kelangsungan permainan tradisional yang telah diwarisinya secara turun temurun.

- Teknik Pembuatan
Pembuatan alat permainan bertalian erat dengan teknik (cara) yang membutuhkan perpaduan antara kemampuan berpikir (berpikir logis dan sistematis), perasaan, dan keterampilan tangan. Seorang anak akan berpikir untuk mewujudkan alat permainan itu melalui tahapan-tahapan. Misalnya untuk membuat mobil-mobilan ia akan memulai pengerjaannya secara bertahap. Dimulai dengan perencanaan yang diwujudkan dalam bentuk gambar, kemudian membuat pola dengan mencontoh. Tarap selanjutnya adalah memotong, menggunting pola-pola yang telah disiapkan dan tahap terakhir adalah membentuk dengan cara menyusun dan menerapkan pola-pola yang telah dipotong tadi. Adalah sebuah kebanggaan dan meningkatkan prestis (gengsi) seorang anak manakala ia dapat berhasil membuat alat permainan dengan tangannya sendiri. Apalagi cocooan-nya itu diberi nuansa lain (Sunda: dialus-alus) sehingga tampak bagus diantara teman-temannya.

Nah ! pada proses pembuatan cocoan itulah sifat kemandirian dan kebebasan berekspresif seorang anak ditumpahkan. Tak ada yang melarang untuk membuat momobilannya berbeda dengan yang lain.

- Cara Bermain

Selanjutnya, pengamatan atas praktik permainan di lapangan selalu merujuk pada pola permainan bertanding yang hampir selalu mempunyai sifat-sifat (1) terorgasisasi, (2) bersaing, (3) dimainkan paling sedikit oleh dua orang, (4) mempunyai kriteria yang menentukan pemenang dan yang kalah, dan (5) mempunyai peraturan bermain yang disepakati bersama.

(1) Terorganisasi

Frase terorganisasi berasal dari kata organisasi yang diberi awalan "ter". Pengertian orgasisasi itu sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mengatur hubungan antara seorang-perseorangan guna mencapai satu maksud tujuan bersama. Jadi, dalam kelompok kecil dilingkungan anak-anak, organisasi merupakan cara mengatur kelompok guna mencapai tujuan bersama, dalam hal ini memenangkan sebuah permainan. Pada awal permainan, kita ambil contoh Bebentengan, sekelompok anak mengatur dirinya tanpa keterlibatan orang luar, untuk membentuk dua kelompok. Dimulai dengan pemilihan anggota serta menentukan "pemimpin" kelompok, dilakukan dengan cara yang sederhana. Yakni dengan suit, suten atau homimpah atau dalam bahasa kasarnya -walaupun agak kurang pas- yaitu undian. Tetapi kadang-kadang seorang anak mengakui kelemahan dirinya dan dengan sukarela mengikuti kemauan "pemimpin" yang biasanya ditandai dengan kebesaran tubuhnya (anak gede).

Dalam hal ini pula seorang anggota kelompok harus saling tolong-menolong dan menentukan strategi guna memenangkan permainan sekaligus terkandung sifat saling percaya diantara teman. Bukankah sifat tolong-menolong dan saling mempercayai teman merupakan inti sebuah organisasi?

(2) Bersaing

Sifat bersaing pada setiap manusia dapat bernilai positif atau bernilai negatif. Persaingan pada permainan anak-anak lebih mengarah pada persaingan yang positif. Artinya, anak-anak, baik individu maupun kolektif, dipacu untuk semaksimal mungkin mengalahkan pihak lawan dengan cara-cara yang sportif dan jujur. Kadang-kadang guna memacu persaingan yang sehat permainan dilakukan pada lain waktu dengan anggota kelompok yang sama atau tidak berubah. Misalnya, jika sebuah kelompok kalah , maka dianatara anggota kelompoknya ada yang menangtang pada lain harinya. Pihak tertantangpun tidak mau turun prestisnya, maka tantangan pun dilayaninya.

(3) Jumlah pemain : dimainkan paling sedikit oleh dua orang,

Permainan tradisional anak, terutama dalam permainan pertandingan tidak mengenal dalam bentuk permainan sendiri. Sekurang-kurangnya harus dilakukan oleh dua orang, seperti permainan teka-teki (tatarucingan), dam-daman dan lelempengan. Pemaknaan dapat dikaitkan dengan unsur sosial masyarakat atau komunikasi yang ”mensyaratkan” keterlibatan orang lain dalam beraktivitas. Artinya manusia sebagai makluk sosial memerlukan orang lain dalam beraktivitas. Manusia tidak bisa dan mustahil hidup sendiri tanpa bantuan atau keterlibatan manusia lain.

(4) mempunyai kriteria yang menentukan pemenang dan yang kalah, 

Kejelasan aturan permainan pertandingan akan menentukan strategi yang digunakan. Misalnya kriteria pemenang permainan pris-prisan atau bebentengan adalah menginjak sepotong batu yang dijaga seseorang. Jika potongan batu itu telah kena injak oleh lawan mainnya, itu pertanda ia kalah. Pada saat bermain itulah pemupukan sifat individu seorang anak secara tidak langsung ditempa oleh dirinya sendiri. Oleh karena di dalam sebuah permainan, baik kemahiran individu maupun kelompok, dalam upaya pemenangan ini dituntut kecerdikan, keberanian, dan kekuatan dalam mengatur strategi.

(5) mempunyai peraturan bermain yang disepakati bersama.

Sebuah pertandingan akan berakhir pada dua pilihan, kalah atau menang. Kalah dan menang ditentukan oleh kesepakatan keduabelah pihak yang akan bertanding. Tujuan pertandingan adalah mencapai kemenangan berdasarkan ketentuan yang disepakati bersama. Kemenangan yang diperoleh tidak sesuai dengan ketentuan akan dianggap orang licik dan orang yang tak tahu diri. Akibatnya adalah ia akan ”dicirian”, masuk dalam daftar hitam untuk tidak diikutsertakan lagi dalam permainan lain. Jadi, sportivitas dan kejujuran sangat dihargai.

- Nyanyian (kakawihan) / dialog
Fase anak-anak tampaknya fase yang menyenangkan dan menggembirakan. Kesenangan dan kegembiraan seorang anak biasanya direfleksikan dalam rangkaian lagu-lagu yang khas sifatnya. Nyanyian-nyanyian ini lahir dan tumbuh begitu saja tanpa tahu siapa pencipta sekaligus pengajarnya. Orang Jawa menamainya Nyanyian Dolanan sementara orang Sunda menyebutnya Kakawihan (Barudak) dan suku bangsa lain pun akan menamainya sesuai dengan adat kebiasaannya.

Kakawihan dapat diberi batasan adalah nyanyian anonim yang dinyanyikan anak-anak (Sunda) saat bermain, baik dalam bahasa daerah (Sunda) maupun dalam bahasa non-Sunda (Heryana,. 1993). Kakawihan dengan permainan tradisional anak mempunyai hubungan erat, walaupun tidak semua permainan anak selalu dan harus disertai nyanyian. Bermain galah, gatrik, boy-boyan, sondah atau permainan tertentu lainnya sering dilakukan tanpa iringan nyanyian. Namun setidaknya pada saat memulai permainan umumnya dimulai dengan nyanyian, terutama sekali ketika menentukan seorang atau kelompok yang paling awal melakukan permainan. Bentuk teks kakawihan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Minyak kayu putih
Minyak kayu putih
digosok di badan
bendera merah putih
tandanya menang

Minyak kayu putih
digosok bau badan
bendera merah putih
tandanya menang
satu, dua, tiga
yang satu menang

Banben banting
Banben banting
aya ucing dikiriting
saha nu ucing
budakna sinting

Banben bata
Banben bata
aya ucing na kareta
saha nu ucing
budak eta

Hompipah 
Hompilah hompimpah sakali jadi
hompilah hompimpah
ulah sisirikan sakali jadi

Cing ciripit
Cing ciripit kadal buntung
duit saringgit pake modal untung
sapatu butut di Rancaekek
budak camberut kudu dicekek
kaca ...... pit ; kaca...... pit

Cing ciriwit sadulang sabajing
saha nu kaciwit jadi ucing

Pendataan Kakawihan pada tahun 1999 di daerah Bandung, Lembang dan Garut yang menitikberatkan obyek pendataannya pada siswa-siswa sekolah dasar telah mencatat lebih dari 50 kakawihan (Heryana,1999). Kelimapuluh kakawihan ini sebagian besar berbeda dengan kakawihan yang telah dikenal para orangtua dimasa lalu. Berdasarkan data tersebut diperoleh beberapa nilai budaya yaitu:
1. Dinamisasi anak;
2. Media penyampaian ide;
3. Sindiran;
4. Kreativitas

1. Dinamisasi Anak

Sebuah perubahan budaya atau perilaku seseorang dapat bernuansa negatif atau positif. Kemajuan atau timbulnya bentuk (jenis) baru kakawihan dapat dipandang sebagai pemiskinan atau pengayaan kakawihan barudak. Hal ini sangat bergantung pada titik pandang seseorang. Yang jelas dalam kajian ini, kami, penulis, memandanngnya sebagai bentuk dinamisasi sang anak dalam merespon dunia luar. Siapa pun orangnya yang mencipta kakawihan, kita harus mengakui bahwa ia telah menyampaikan kepada anak-anak mengenai informasi-dunia. Di sini terkandung kreativitas dan pengetahuan yang luas terhadap dunia luar. Nama-nama asing seperti Donal Bebek, Lady Diana, Pangeran Carles dan nama-nama asing lainnya bukanlah produk budaya daerah (baca: Sunda). Jika demikian, mengapa hal itu berlangsung dan masuk ke dalam arena permainan anak? Tentu penyebabnya tak lain adalah teknologi dan arus informasi yang demikian global. Televisi dan media massa lainnya tidak sedikit memberi andil ke dalam nyanyian kakawihan tersebut.

Nilai kedinamisan yang dimaksud pada sub judul ini terletak pada sikap dan perhatian anak-anak terhadap dunia luar. Mungkin saja seorang anak yang kritis akan menarik minat untuk bertanya lebih jauh tentang isi sebuah kakawihan. Ia akan bertanya tentang siapa Lady Diana? Siapa Donal Bebek? dan sebagainya.

2. Media Penyampaian Ide

Pada kakawihan Kapiting Cina terdapat larik ada sabun di balik batu, batu hancur udangnya mati. Lirik ini pada dasarnya menyampaikan gagasan agar batu-batu di sungai jangan dihancurkan sedemikian rupa. Karena menghancurkan batu berarti sama dengan menghancurkan udang. Udang menyenangi air yang berbatu. Di balik batu-batu itulah ia menyembunyikan dan sekaligus berkembang biak. Jika sarangnya dihancurkan tanpa kendali, maka kepunahan udang hanyalah tinggal menunggu waktu saja.

Pada Ucing Dua Lima, juga terdapat larik Aya tangkal cau, aya tangkal gedang, nyai geura nyangu, akang peurih beuteung. Bentuk kakawihan yang mengambil pola sisindiran ini menyimpan ide bahwa perempuan mempunyai tugas menanak nasi (Nyai geura nyangu) . Dalam cakupan lebih luas hal-hal yang berhubungan dengan masak-memasak merupakan "pekerjaan" perempuan. Untuk siapakah mereka memasak itu? Tidak lain untuk sang suami atau sang ke kakasihnya yang sudah lapar (akang peurih beuteung).

3. Sindiran
Gaya kritikan atas situasi yang tidak mengenakan hati karena tidak sesuai dengan budaya setempat, diungkapkan pula pada penggalan kakawihan berikut.

Hansip-hansip penjaga galangan
ngintip-ngintip orang pacaran,
betapa senangnya orang pacaran
jam duabelas malam masih dikandang ayam.

Benarkah hansip salah salah satu pekerjaannnya mengintip orang pacaran? Mungkin saja ! Karena di masyarakat pernah dan sering terdengar sebutan kawin hansip. Penggerebegan ini dilakukan karena yang bersangkutan telah melampaui wakuncar (waktu kunjung pacar).

4. Kreativitas 

Kreativitas sebagai ciri manusia berbudaya telah sejak awal dilatih. Kemampuan berimprovisasi menghadapi masalah serta menyiasati lawan dalam sebuah permainan tercermin pada lagu Coca-cola, Sedang Apa, atau Detel Misti. Pada kakawihan tersebut upaya penggantian nama seseorang seperti pada Coca-cola dan Detel Misti serta penyiasatan masalah pada kakawihan Sedang Apa sedikit banyaknya menunjukkan kreativitas berfikir sang anak. Demikian pula mengganti rumpaka atau syair sebuah lagu ke dalam syair yang kocak dan menggemaskan seperti pada lagu Balonku dan Garuda Pancasila merupakan bentuk kreativitas tersendiri dalam hal menyikapi keadaan alam lingkungannya.

Fungsi
Waktu bermain anak pada dasarnya ”tidak terbatas”. Barangkali dimulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali merupakan ”waktu dinasnya”. Namun aktivitas anak telah dibebani untuk menimba pendidikan, maka waktu bermain pun menyesuaikan diri. Jadi, dalam hal ini aktivitas bermain dilakukan pada waktu senggang atau istirahat sekolah.

Fungsi permainan tradisional anak pada dasarnya adalah untuk rekreasi dan penyegaran (refreshing). Kepenatan berpikir kesumpekan di dalam kelas yang membatasi ruang gerak tubuh mendapati kebebasan pada saat jam istirahat. Pada jam istirahat inilah aktivitas bermain menjadi waktu favoritnya.

Fungsi lain adalah sebagai ajang sosialisasi dan pendidikan. Sosialisasi sebagai proses yang berlaku alami perlu dilakukan oleh seorang anak. Secara tidak langsung seorang anak mengenal dunia luar, selain dunia keluarganya, melalui bermain. Permainan tradisional secara tidak langsung pun berperan di dalam mengikat perkenalan, persamaan dan persaudaraan antara kawan. Permainan bersama kakawihannya telah memberi sumbangan yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian seorang anak. Sekurang-kurangnya dunia anak yang penuh dengan impian dan keceriaan telah dinikmatinya tanpa beban apa-apa. Bahkan tidak mustahil pada masa pertumbuhan ini permainan tradisional telah menyampaikan pesan moralnya untuk selalu bekerja sama dan mematuhi "rule of game" dalam mengarungi alam kehidupan masa datang

Pendidikan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter anak memperoleh media penyalurannya melalui permainan tradisional. Sebagai contoh alat pendidikan dapat dirujuk pada kakawihan Satu-satu. Lagu yang merupakan plesetan dari lagu satu satu, berisi tentang anak-anak yang ingin masuk surga. Untuk mencapainya sangat "mudah" asal dapat memenuhi tiga persyaratan, yaitu: mencintai Tuhan Allah, mencintai Rasul-Nya, dan mencintai orangtuanya.

Bagan nilai budaya permainan tradisional anak
Uraian di atas secara sederhana dapat diringkas dalam bentuk bagan lingkaran berikut.


Menuju mitos

Kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi selalu diiringi arus informasi yang tidak lagi dibatasi ruang , waktu, dan tempat yang bersifat geografis. Batas-batas wilayah suatu daerah (dalam lingkup luas sebuah negara) sudah tidak dapat lagi membentengi dirinya dari informasi yang demikian menggebu. Akibat semua itu, opini publik mudah tercipta dan mudah dibentuk menurut kemauan pihak tertentu. Lewat tayangan-tayang televisi atau pergelaran-pergelaran, opini publik setidaknya dapat dibentuk dan diarahkan. Bahkan lebih jauh lagi secara tidak langsung dapat mempengaruhi cara pikir, cara pandang, dan cara tindak seseorang. Akibat berikutnya tidak mustahil sebuah negara akan terjajah melalui bentuk lain, yakni budaya asing.

Dalam pada itu, permainan tradisional anak-anak yang sering dilakukan saat bermain, tidak mustahil terpolusi pula. Peran teknologi informasi melalui media yang hadir di mana-mana dan kekuatan pasar yang begitu kuat telah bersama-sama memodifikasi dan mengubah masa kanak-kanak. Kekuatan-kekuatan ini mengemudikan raksasa industri-industri hiburan, olah raga, dan mainan yang bersaing dengan kultur tradisional anak-anak, untuk merebut ruang dalam kehidupan anak-anak. (Carpenterdalam Julia C. Bishop, dkk. 2005 :208). Atas semua itu, kondisi permainan tradisional anak dewasa ini sekurang-kurangnya dimungkinkan mengalami tiga hal keadaan. Pertama, adanya perubahan; kedua , terjadi pergeseran makna atau pemiskinan nilai; dan ketiga terjadi "pemusnahan" atau penghilangan sekaligus melahirkan bentuk dan nyanyian anak-anak "episode" masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, misalnya, banyaknya benda-benda alat bermain sebagai produk teknologi akan mampu mengubah perilaku seorang anak. Apakah nantinya anak tersebut menjadi seorang pendiam, agresif , kreatif atau seorang egois yang tidak peduli terhadap orang lain ; tentunya hal ini ada hubungannya dengan sifat dan cara kerja atau mekanisme alat bermain tersebut. Ketidaktersediaannya lapangan atau halaman rumah di perkotaan dapat menyebabkan berbagai bentuk permainan-anak hilang atau muncul bentuk permainan baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Munculnya kelompok-kelompok bermain anak (play group) atau tayangan-tayangan permaian anak pada televisi sedikit banyaknya mencerminkan situasi bentuk permainan-anak dewasa ini.

Sebuah nilai budaya dibangun di atas pondasi kebudayaan pendukungnya. Perubahan yang terjadi di dalamnya akan berimplikasi pada nilai-nilai yang diyakininya, sekurang-kurangnya penurunan bahkan perubahan nilai akan terjadi. Sebuah permainan tradisional anak yang bernama maen bal dewasa ini bukan lagi sebagai permainan biasa. Permainan itu telah menjadi ”mitos” hampir setiap bangsa. Harga diri, solidaritas, dan eksistensi bangsa dipertaruhkan dalam permainan maen bal. Sesuatu yang diluar dugaan anak-anak sebagai pemilik sah permainan tersebut. Ya ! Campur tangan orang dewasa telah melahirkan industri raksasa. Industri sepakbola. Jika sudah menjadi industri masihkah disebut permainan tradisional? Jawabannya sudah melebar ke ranah bidang lain: sosial budaya ekonomi politik dan seterusnya.

Penutup
Sebuah nilai sangat bergantung pada kondisi sosial budaya suatu bangsa. Perubahan pada aspek-aspek kehidupan yang melingkupinya akan berdampak pada nilai budaya yang selama ini diyakininya. Suku Sunda sebagai bagian dari bangsa Indonesia telah mengajarkan kepada anak-anaknya melalui tradisi permainan anak. Pengajaran itu mengandung harapan dan cita-cita leluhur (Sunda) agar anak-anak disiapkan untuk menjadi manusia yang jujur (sportif), berani bersaing (kompetitif), optimis, kreatif, supel (mudah bergaul), berani mengambil keputusan, dinamis terhadap perubahan yang terjadi, arif terhadap alam lingkungan, mandiri serta tidak melupakan kewajiban sebagai manusia yang harus berbakti kepada agama, bangsa, dan masyarakat.

Daftar Pustaka
Atmadibrata, Enoch dan Tisna Sopandi. 1979/1980. Permainan Rakyat Daerah Jawa Barat. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud.

Atja dan Saleh Danasasmita.1981. Siksa Kanda Ng Karesian. Proyek Pengembangan Permusiuman Jawa Barat. Bandung.

Bishop, Julia C. dan Mavis Curtis (ed). 2005. Permainan Anak-anak zaman sekarang. Jakarta: Grasindo.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti pers.

Heryana, Agus. 1999. Nyanyian Anak-anak Sunda Masa Kini : Analisis Bentuk dan Isi Kakawihan Barudak Kiwari. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Intani, Ria,dkk. 1999/2000. Peralatan Permainan Tradisional Anak-anak Jawa Barat. Bandung: Depdikbud Dirjen Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Mustapa, Hasan.1925. Bale Bandung. Bandung : M.I. Prawirawinata

Rusyana, Yus. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Soepandi, Atik dan Oyon Sofyan Umsari. 1985. Kakawihan Barudak Nyanyian Anak-anak Sunda. Depdikbud Dirjen Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Syarifuddin, Ahmad. 2004. Mendidik Anak. Jakarta: Gema Insani Press.

Wibisana, Wahyu.1976. Geber-geber Hihid Aing. Bandung : Pelita Masa

Majalah :
Buddhi Racana Vol. 1 No. 3
Mei 1993. Masih Adakah Nyanyian Anak-anak Sunda?

Sumber: Makalah disampaikan pada Festival Permainan Tradisional Anak yang diselenggarakan oleh BPSNT Bandung di Sumedang tanggal 14 Juli 2010

PANGGIL AKU: PHENG HWA

KAJIAN CERITA PENDEK : PANGGIL AKU: PHENG HWA Karya : Veven Sp Wardhana Oleh AGUS HERYANA Teks: SEJARAH telah me...